Selanjutnya di tahun 2016 yang di lansir oleh Institute for Criminal Justice Reform, kasus ancaman whistle blower, dimana 10 orang pelapor kasus Bupati Tanggamus Bambang Kurniawan yang melaporkan dugaan suap kepada anggota DPRD Kabupaten Tanggamus terkait dengan pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2016 mengalami serangan balik/ intimidasi yaitu diancam secara fisik, ancaman psikis, dan ancaman administrasi berupa peringatan adanya Pergantian Antar Waktu sebagai anggota DPRD, hingga ancaman karir terhada keluarga para pelapor yang menjadi PNS di Pemkab Tanggamus.
Secara yuridis, UU (13/2006) tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) menempatkan seorang pelapor di posisi terlindungi hak- hak nya sebagai saksi. Namun dalam rumusan pasal 10 ayat (2), terdapat kelemahan yang mana penyidik menetapkan pelapor kasus korupsi menjadi tersangka, yang kemudian dilakukan penahanan secara sepihak tanpa memperimbangkan kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang mempunyai kewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban tindak pidana korupsi.
Di sisi lain, pasal 10 ayat (2) tidak memberikan kepastian hukum yang jelas terhadap keberadaan seorang whistle blower yang mana satu sisi memberikan perlindungan akan hak- haknya sebagai saksi, namun sisi lain, whistle blower tidak diberikan jaminan untuk dibebaskan dari tuntutan pidana.
Oleh karena itu, dukungan politik dan pemerintah untuk memperbaiki system pelaporan whistle blower dan memperkuat peran fungsi LPSK RI dalam melindungi whistle blower perlu dioptimalkan, sehingga sang pelapor dapat mengungkap kesaksiannya bebas, aman, dan mendapatkan kepastian hukum oleh negara.
Perlindungan Hukum Saksi Whistle Blower
Problem yang sering muncul dalam penanganan perlindungan seorang whistle blower adalah munculnya permasalahan baru yang seolah- olah permasalahan itu adalah bentuk pelanggaran dan umumnya ditangani penegak hukum secara berbeda. Posisi ini menimbulkan risiko benturan konflik kepentingan dimana orang yang dilaporkan oleh si whistle blower dengan segala usahanya melakukan upaya untuk menghalang- halangi langka si pelapor.
Oleh karena itu, pemerintah menjamin si whistle blower dalam mengungkap skandal kasus korupsi melalui peraturan- peraturan atau undang- undang demi mendapatkan kepastian hukum. beberapa peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Mahkamah Agung yaitu Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011, point penting yang terkandung dalam SEMA ini yaitu memberikan reward berupa perlakuan khusus terhadap orang orang yang dikategorikan sebagai whistle blower dan saksi yang bekerja sama (justice collaborator).
Reward tersebut berupa keringanan pidana,dan jika yang dilaporkan melaporkan balik whistle blower maka penanganan perkara atas laporan yang disampaikan oleh nya didahulukan dibandingkan laporan dari pihak lawan yang dilaporkan oleh whistle blower.
Di sisi lain, whistle blower juga dijamin oleh UU No. 31 Tahun 2014 j.o UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dimana dalam pasal 10, si whistle blower tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata dan laporan yang akan, sedang atau telah diberikan kecuali laporan kesaksiannya diberikan tidak dengan iktikat yang baik. Apabila whitsle blower terdapat tuntutan hukum terhadapnya maka penegak hukum wajib menundanya hingga kasus yang ia laporkan telah diputuskan oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Tidak hanya itu, pasal 10 A UU (31/2014) semakin mengukuhkan kedudukan whistle blower dan LPSK, yang mana pemberian hak perlindungan kepada whistle blower berupa perlindungan fisik dan psikis, perlindungan hukum, penanganan khusus, dan memperoleh penghargaan. Semua hak itu dapat diperoleh oleh whistle blower dengan persetujuan atau pemberian rekomendasi LPSK kepada Jaksa dan Hakim.
Dengan demikian, peran kapasitas LPSK dalam pemberian perlindungan kepada whistle blower samakin optimal sesuai dengan kebutuhan dalam mengadvokasi dan bekerja sama dengan lembaga lain, ke-eksisten ruang lingkup kerja LPSK berada pada proses peradilan pidana semakin diakui oleh undang- undang. Sehingga masyarakat semakin optimis dengan keberadaan LPSK.