Mohon tunggu...
Ahmad Arafat
Ahmad Arafat Mohon Tunggu... karyawan swasta -

A first-born child. A dreamer. A thinker and philosopher-wannabe. A junior-engineer. An ongoing-writer/author/traveler/enterpreneur. A wondering wanderer. And... also, a sincere-lover.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

The Art of Choice(+)ing

25 Februari 2013   17:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:42 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Kamis malam, selepas dari bekerja di kantor, saya bergegas pulang. Ada beberapa agenda yang ada di benak saya, menunggu untuk dipenuhi: makan malam (dijamak dengan hajat makan siang yang belum ditunaikan), main futsal, dan, potong rambut. Dengan menggeber gas motor kesayangan, saya berpacu dengan waktu, memburu di tengah keramaian malam. Saya pun singgah di sebuah kedai yang menjual aneka macam soto di pinggir jalan. Dengan lahap dan nikmat, saya pun makan mengisi perut yang keroncongan. Sembari menikmati makan malam tersebut, 1 SMS masuk ke HP saya, dari Teguh rekan sekantor dan teman sekosan, mengabarkan bahwa malam ini jadwal main futsal dibatalkan. Argh.. Kecewa!

Mengetahui bahwa tampaknya malam ini tak dapat melakukan aktivitas olahraga malam mencari keringat dengan berburu dan berebut 1 bola di lapangan berudara kusam, berarti selepas makan hanya ada 1 agenda tersisa: potong rambut. Atas saran seseorang yang spesial, dan demi bertemu orang-orang yang spesial pula, saya pun memutuskan memang sudah waktunya untuk memangkas “bulu-bulu” yang tumbuh di kepala ini. Saya pun mengangsurkan pilihan-pilihan yang berkembang. Ke salon profesional “JA” tempat saya biasanya memotong rambut, umumnya berada di dalam mal dan karena letaknya cukup jauh dari kosan –apalagi ini masih tanggal tua– saya menganggap ini bukanlah pilihan yang tepat. Maka sepanjang jalan pulang pun mata ini dipicingkan untuk mencari-cari apabila ada salon yang masih buka. Sayang, nihil hasilnya.

Saya kini tinggal satu blok lagi dari jalan menuju kosan. Satu-satunya pilihan yang tersisa kini adalah salon yang tempo hari baru ditempati oleh Teguh demi memotong rambutnya, tidak jauh dari kosan di seberang sekolah pinggir jalan. Sebetulnya ada satu lagi salon selain salon yang akan saya datangi ini. Namun, melihat “pengelola”nya membuat niat saya menciut serta-merta. Dengan tidak bermaksud merendahkan, orang yang ada di salon yang satu itu membuat saya takut. Penampilannya sekilas seperti seorang perempuan, dengan rambut panjangnya, hidung bangirnya, juga dagu lancipnya. Tapi, sebagaimana orang mafhum, seperti itu pulalah saya tahu bahwa dia sejatinya bukan perempuan. Sebagian menyebutnya dengan –kasar– nama “waria”, sebagian melabelinya dengan “trans-gender”. Jelas, saya menghindari hal ini, dan tak berharap memiliki banyak interaksi dengan tipe orang seperti itu –tidak, jika tidak darurat.

Setelah memastikan lokasi salon yang dituju, saya pun berhenti dan bermaksud masuk ke dalam salon mungil yang berada di samping warung padang tersebut. Lewat pintu gesernya yang berbahan kaca, saya melongok berusaha mencari “penunggu” tempat tersebut. Tapi tampaknya tak ada orang. Takut saya salah lihat karena rabun ataupun mungkin terhalang lapisan film di kaca tersebut, saya menggeser pintunya untuk membuka ruangan itu.GRRRTTSS... Suara gesekan pintu tersebut begitu berisik, berdecit dan berderak sekaligus. Setelah pintu terbuka pun, dan dengan saya memanggil penghuni salon itu, tetap tak ada orang di dalamnya. Jangan-jangan salon ini sebetulnya sudah tutup, lalu penghuninya sudah pulang?

Setelah beberapa lama terpaku di depan pintu, dan karena takut dicurigai sebagai maling *meskipun tampang (sok) innocent begini :D* saya mengarah ke motor, bermaksud hendak pulang saja. Sejurus kemudian, seorang lelaki berbaju merah bergegas menghampiri saya, disusul seorang pria lain berbaju krem dari arah jalan berlawanan namun menuju pintu yang sama. Salah satu dari mereka pastilah penunggu saloniniyang dari tadi ditunggu-tunggu. Tak perlu waktu lama bagi saya untuk mengenali mana sang penunggu, mana sang pelanggan. Meski dari tampangnya masih meragukan, namun saya yakin seyakin-yakinnya bahwa pria berbaju kaos merah itulah si empunya salon. Setelah bercakap-cakap dan bertanyaseperlunya, saya pun masuk ke dalam ruangan yang tidak begitu luas itu, lalu menaruh tas punggung juga helm di bangku panjang yang tersedia.

Ternyata pria yang satunya lagi adalah pelanggan yang juga sepertinya dari tadi menanti kedatangan pria gemulai tersebut. Ya, seperti kebanyakan tenaga pekerja di sektor jasa semacam ini, pria (atau, setengah pria –kalau boleh saya menyebutnya demikian) itu terlihat begitu gemulai dalam berjalan, berlakugerak, juga ketika berbicara. Namun ada hal yang kontras, mukanya menyeramkan, saudara-saudara ! Menyeramkan dalam artian “sangar”, agak “macho”, kalau tidak dikatakan seperti “preman”. Saya mungkin agak hiperbolis mendeskripsikannya, tapi silahkan bayangkan muka “selebritis dadakan” yang dikenal dengan Udin Sedunia itu tapi dengan nuansa yang sedikit mencekam dan lebih seram! 84% seperti doi mukanya, kawan! Believe me (or not)!

Meskipun saya adalah orang pertama yang masuk ke dalam ruangan salon itu, namun bukan saya yang dilayani pertama kali. Adalah pria berbaju krem tadi yang rupa-rupanya sudah menjadi pelanggan tetap dan mengakrabi salon itu yang duduk duluan dan bersiap “digagahi” #ehmaksudsaya digagahkan (!) oleh sang penata rambut. Ada sedikit rasa kecewa mengetahui bahwa saya harus menunggu di belakang orang terlebih dahulu, namun fakta bahwa masih banyak waktu tersisa malam ini membuat saya sedikit lebih sabar dan mengalah. Alhasil, saya hanya duduk menunggu giliran di bangku deret yang menghadap meja dan cermin rias yang panjang yang terbentang di depan saya itu.


Sambil menunggu pelanggan yang dilayani lebih dulu dari saya itu, si Udin (mari kita panggil saja si penunggu salon tersebut demikian), menyiapkan berbagai hal. Saya hanya termangu memperhatikan dan menyaksikannya dengan seksama. Yang pertama ia lakukan adalah menyalakan TV yang berada di atas kepala itu. Saya kira saluran TV terestrial yang diputarnya, ternyata sudah ada DVD yang sedia di-play dan menjadi tontonan hiburan, nampaknya. Dugaan saya ini DVD pasti berisikan lagu karaoke tembang kenangan sepanjang masa (melihat sisi “mellow” dari muka berkarakter “si Udin” ini). Atau kalau bukan, DVD campur sari yang upbeat dan biasa saya saksikan di warung tegal langganan. Atau kalau masih bukan juga, DVD konser dangdutan yang memamerkan perempuan bohay sang penyanyi lihai yang berjoget aduhai... Saya salah... *dan kesalahan saya ini masih belum ada apa-apanya dibanding “kesalahan-demi-kesalahan” saya berikutnya.

Ternyata DVD yang ditampilkan dan telah dinyatakan “lulus sensor” oleh Lembaga Sensor Film tersebut (sejenak saya mengira ini film koboi tempo doeloe) merupakan DVD lagu-lagu. Ahh, itu mah biasa, bukan begitu? Yang bikin mata saya mendelik dan dada saya bergidik akhirnya, lagu dan (sepertinya) penyanyinya ke-Arab-Araban gitu, tuan-puan! Saya mencoba bersabar dan berharap kenyataannya tak seperti yang saya takutkan. Ternyata saya keliru, lalu bak tertipu. Itu DVD buatan lokal (sangat kental “muatan lokal”nya, malah) dengan penyanyi yang namanya di-Arab-Arabkan (entah nama asli apa bual-bualan), namun dengan playlist lagu-lagu murni berjudul Arab semuanya. Mengezutkan! Seorang berwajah sangar, berpembawaan gemulai seperti itu menggandrungi genre musik “marawis modern” (begitu saya menyebutnya) yang dibawakan oleh biduanita berkerudung lengkap dan berwajah Indonesia sekali. Saya geli sendiri dan rasanya ingin geleng-geleng kepala seribu kali...

Keanehan berikutnya terjadi. Sambil memulai menggunakan peralatan cukurnya dan meranggaskan helai demi helai rambut sang pelanggan, si Udin berlenggak lenggok kecil mengikuti irama “padang pasir buatan” yang mengalun melalui speaker TV. Lucu menyaksikan tingkahnya yang terlihat begitu menikmati alunan ayat-ayat suci musik unik tersebut. Dan kehebohan berikutnya yang menggegerkan jagad observasi saya (yang sedari tadi memasang muka acuh tak acuh padahal sejatinya memerhatikan dengan sedetail-detailnya) adalah ketika ia mengeluarkan tutup kepala berupa kupluk berwarna coklat lalu mengenakannya di kepala! Apakah itu topi sakti mandraguna yang berfungsi memberikan dia kekuatan super dan menjadikannya mahir memotong rambut??? Apakah itu “ritual khusus” yang mesti dipenuhi setiap kali ia beraksi?? Sepertinya ia bermaksud menghindari terjadinya kontaminasi potongan helai rambut agar tidak menempel di rambutnya sendiri (?) Hanya si Udin dan Tuhan yang tahu.

Lalu waktu pun terus menemani si Udin yang bekerja dengan telaten dan tekun melayani pelanggannya itu. Tak lama kemudian, selesailah si pelanggan pertama menunaikan hajatnya. Dengan hati was-was, meragu dan bertanya-tanya, saya pun melangkah malas-malasan menuju kursi pesakitan ketika ia mempersilahkan saya duduk di sana. Ungkapan doa terpanjat di dalam hati serius sekali, demi mengharapkan si Udin bisa melaksanakan tugasnya dengan paripurna dan memenuhi espektasi saya setinggi-tingginya. Dan dengan jari-jemarinya bermain dengan peralatan yang ada (gunting dan sisir), ia bekerja –saya pun terus berdoa.Satu demi satu helai rambut semi-kriting saya berjatuhan di lantai dan di celemek yang dipasangkan menutupi bagian tubuh depan saya ini. Saya baru tersadar bahwa ini juga celemek yang sama yang digunakan pada pelanggan sebelum saya, juga handuk yang sama yang dilingkarkan di leher saya juga di leher orang sebelumnya. Hiii....!

Awalnya saya menganggap biasa saja prosesi pencukuran dan pemotongan rambut saya tersebut. Di awal tadi, saya sudah menyebutkan dengan jelas dan tegas jenis potongan seperti apa yang saya inginkan dan model rambut seperti bagaimana yang saya harapkan. Dari pengalaman nyalon sebelumnya (maaf, saya tidak sedang mendeklarasikan diri sebagai pria metroseksual), instruksi semacam itu berhasil memberikan “juru gunting” arahan dan acuan tugas yang pasti untuk diikuti. Sedikit yang saya sadari, bahwa “selalu ada pertama kali untuk segala sesuatu”, dan malam ini tampaknya merupakan “malam pertama” mengalami apa yang saya deskripsikan sebagai ‘cacat gunting’. Bagaikan mozaik lukisan yang perlahan-lahan terurai dan terekonstruksi menjadi gambar yang lebih jelas, seperti itu pula saya memandang potret wajah saya di pantulan kaca di muka. Laksana semburat cahaya yang merasuki ruang-ruang gelap dan hitam lalu mengungkap yang tadinya tersembunyi dari pandangan mata, seperti itu juga saya melihat gambaran “bentuk baru” kepala dan sekitar kepala saya dengan lebih utuh dan menyeluruh.

Lalu saya kemudian terdiam, membisu seribu bahasa...

Lalu saya pun tercenung, menyadari –juga mengutuki– kebodohan saya yang melangkahkan kaki ke sini sedari tadi.

Tak ketinggalan juga saya meratapi nasib diri ini seraya memaki diri sendiri karena tak berani tegas mengambil keputusan untuk berpaling pergi sewaktu tahu harus mengantri disini.

#sigh

Apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur, begitu kata pepatah. Analogi dengan itu, saya jadi punya pepatah baru, Thomas Jorgi kini menjadi Narji Cagur. Seperti itulah saya menilai dan mendapati diri saya sendiri dari apa yang mirror mirror on the wall tunjukkan dan katakan lamat-lamat. Gaya rambut semi-mohawk yang saya bayangkan bisa peroleh di awal ternyata menjelma menjadi gaya rambut entah-apa-namanya. Rambut di tepi dan atas pelipis kiri kanan saya dibabat habis dan hampir bolong laksana bukit tandus yang tak lagi memiliki pepohonan akibat erosi tanah. Rambut di kepala bagian tengah yang seharusnya bisa diberdirikan (ini kan gaya mohawk?) rupa-rupanya memiliki panjang yang relatif sama dengan rambut di tepi kepala sehingga jangankan untuk diberdirikan a la mohawk, digenggam dengan tangan saja, ya Salaaam! Long story short, model potongan rambut saya ini kalau mau disimpulkan, menurut saya bagaikan sintesis dan kolaborasi dari potongan model cepak-nya polisi (tampak samping), model “wingko babat” (tampak belakang), dan “sayap kelewar” (tampak depan). Mengenaskan...

Dengan lemah lunglai juga perasaan tak bergairah yang lambat laun berubah bentuk menjadi rasa malu yang tak terkira saya pun menyelesaikan transaksi, menyudahi keperluan dengan si Udin, dan beranjak pulang dengan raut wajah terhina. Bau bedak yang sepertinya sudah kadaluarsa – atau diproduksi sejak jaman purbakala – masih dengan kokohnya menempel dan menusuk hidung saya. Rasa jijik saya kemudian menjadi-jadi demi membayangkan dan mengingati lagi betapa minimnya pengetahuan si Udin mengenai aspek “higienis” dalam perlengkapan dan peralatan cukur yang digunakan sesukanya. Saya tak peduli lagi, saya ingin segera mandi...

Saya harus memulihkan diri dari teror ini!

***

The Simplicity of Life vs The Complexity of Choicing: A Paradox!




Hidup itu sederhana, kawan! Anda tak mau (baca: berani) hidup? Mati saja! Anda tak mau mengambil resiko, maka jangan berharap bisa mengeruk keuntungan juga keberuntungan. Hidup itu cukup sederhana karena jika Anda tak yakin bisa melaluinya, maka lebih baik tinggalkan saja secepatnya (In Life: Live it, or, Leave it!). Tapi hidup, selalu penuh cerita, romantika, juga seperti peta yang tak pernah mudah untuk dibaca! Jika hidup adalah “perjalanan”, maka untuk melalui perjalanan ini agar sampai ke tujuannya dibutuhkan “peta hidup” untuk membimbing kita dan mencegah kita dari tersesat atau tersasar. Dan terkadang, membaca “peta” tersebut, tidaklah selugas membaca persamaan matematika... Pilihan! Itulah yang membuat perjalanan-hidup dan peta-hidup masing-masing dari kita menjadi penuh tanda tanya...


Sejatinya, kita hidup di masa ini, masa lampau, hingga masa depan nanti senantiasa diliputi oleh beragam pilihan-pilihan yang –terkadang– membingungkan dan berpotensi menjerumuskan serta membuat kita “salah jalan”. Cerita panjang nan memilukan milik saya di atas menjadi contoh kasusnya. Bisakah Anda lihat, bahwa sesimpel apapun tujuan atau aktivitas hidup yang ingin saya capai, ternyata aspek pilih-memilihnya bisa berimbas ke begitu banyak hal yang tak terpikirkan sebelumnya? Dapatkah Anda proyeksikan, bahwa berapapun banyaknya pilihan yang kita punya, terkadang memilih dan mengambil satu “pilihan” yang tepat dan “memuaskan” kita bisa menjadi pekerjaan yang sangat berat dan mendebarkan? Mampukah Anda selami, bahwa ada paradoks yang dapat ditemui pada seluruh ruang kehidupan kita: semakin banyak pilihan yang kita punya, tidak membuat hidup kita semakin mudah dan sederhana – sementara semakin sedikit pilihan yang kita pertimbangkan juga tidak menjamin hidup kita bebas bencana?


The Art of Choosing : 4-Dimensions of Choice




Ada hal menarik ketika berbicara mengenai perihal “pilih-memilih” ini, hal mana yang saya definisikan sebagai dimensi-dimensi dari “pilihan dan pemilihan” (choices and choicing) tersebut.
Pertama, dimensi “sebab-akibat”, atau sebut saja dimensi Kausalitas. Bahwa segala sesuatu yang terjadi, ada penyebabnya. Segala sebab, pasti juga ada musabab-nya –penyebabnya yang paling pertama. Dan dimensi ini terjalin bagaikan mata-rantai yang tak pernah terputus dan tetap tersambung terus-menerus. Ketika Anda memilih, atau bersiap untuk memilih, salah satu hal yang pasti (dan mestinya) Anda pertimbangkan adalah “sebab-akibat” ini. Jika saya memilih tidak cukur malam ini mungkin saya tak akan berakhir menulis “pengalaman buruk” ini. Jika saya memilih mendatangi salon JA langganan saya mungkin potongan rambut saya lebih rapi dan memuaskan diri. Itulah Aksi-Reaksi, “Butterfly Effect”, dan seterusnya, dan seterusnya...


Kedua, dimensi “konteks dan momentum”. Apa yang menjadikan saya – dalam cerita di atas – begitu ngebet harus potong rambut malam ini? Karena besok hari kerja, rambut saya sudah cukup panjang (katanya), serta dua hari ke depan ada acara penting yang akan saya hadiri. Itu adalah “konteks” maupun latar belakang masalah yang menjadikan saya memilih memotong rambut malam tadi. Lalu, ketika faktor “batalnya bermain futsal”, “minimnya anggaran keuangan”, “adanya waktu lapang” dimasukkan ke dalam pertimbangan, inilah yang saya sebut sebagai “momentum”: pertemuan antara “entitas” ataupun “substansi” dengan aspek timing maupun spacing yang terjadi. Sebagai pembanding, saya mengajak Anda kembali ke pelajaran Sejarah dan mengingati kembali “konteks” dan “momentum” apa saja yang menyebabkan Proklamasi terjadi pada 17 Agustus 1945. *Selamat berkhayal. :)


Ketiga, dimensi “choicability” (keterpilihan). Ini dimensi yang saya buat-buat dan sebut sendiri sebagai “choiceability” (choice + ability). Saya pun menerjemahkannya secara bebas dengan istilah “keterpilihan”. Mari kita berilustrasi sedikit. Dua orang, dengan dua kebutuhan/keperluan yang sama, dengan berbagai pilihan yang sama –apakah keduanya akan mengambil pilihan yang sama persis? Jawabannya, tentu saja tidak. Apa yang membedakan pilihan keduanya? “Choicability”lah penentunya. Apa itu choicability? Saya mencoba bersotoy-ria dan menawarkan pengertian berikut. Choiceability (keterpilihan) adalah “kemampuan dan kapasitas seseorang untuk menerima dan mengolah spektrum pilihan yang diberikan kepadanya, lalu memiliki kecenderungan untuk menjatuhkan pilihan dari berbagai spektrum pilihan tersebut berdasarkan kompleks pengetahuan, pengalaman, dan karakter yang dimilikinya”.


Mari kita membuat sampel kasus. Kebutuhan: Sarapan Pagi. Pilihan: Sarapan Bubur; Nasi Uduk; Nasi Kuning; Roti Sandwich, dll. Skenario: Dua orang yang berbeda kadar “choicability”nya ketika dihadapkan pada 1 pilihan yang sama pun (misal: keduanya ingin makan nasi uduk) bisa jadi berbeda dalam menjatuhkan pilihan masing-masing. Si A, yang mungkin masih baru di lingkungan sekitar hanya memutuskan dengan segera membeli nasi uduk di dekat rumahnya. Sementara si B, yang lebih “tahu” memutuskan membeli nasi uduk mengendari motor menuju pasar X karena mengetahui di tempat tersebut ada penjual nasi uduk yang terkenal enak dan murah. Jelas, yang membedakan si A dan si B – meski mereka dihadapkan pada pilihan yang sama – hanyalah kapasitas “keterpilihan” yang mereka miliki.


Keempat, dimensi takdir (fate). Ini mungkin terdengar agak supernatural, transedental, dan sejenisnya. Ini juga bukanlah dalam batas pengendalian (serta pemahaman) manusia. Namun, tak dapat dipungkiri, dimensi terakhir ini merupakan dimensi yang paling krusial dan vital yang menentukan jadi tidaknya suatu pilihan diambil. Singkatnya, marilah kita baca lagi cerita di awal, dan bisakah Anda menolak ketika saya katakan bahwa sejatinya “musibah” yang menimpa saya malam ini terjadi karena memang sudah seharusnya (baca: ditakdirkan) untuk terjadi? Hukum Murphy menyatakan bahwa “apa yang mungkin terjadi suatu saat –cepat atau lambat– PASTI akan terjadi”. Saya kira logika (teorema) yang sama bisa diterapkan untuk memahami takdir; bahwa sesuatu yang ditakdirkan terjadi atas kita; pasti akan terjadi! Dan ia akan terjadi melalui serangkaian mekanisme, proses, alur dan rangkaian yang –baik disadari maupun tidak– akan menggiring kita pada single event tertentu dan menciptakan “takdir” itu...


Apakah “kebetulan” semata Anda terlahir dari seorang ibu yang Anda kenal dan seorang ayah yang Anda kenal seperti sekarang? Apakah “kebetulan” semata Anda terlahir sebagai seorang yang ..... (fill in the blank)? Nothing is merely coincidence.. And eventhough there are so many possibilities for every single aspect of our life, FATE indeed is a good answer that will cover all the questions we have... Mungkin ini terdengar klise, namun orang yang beragama –dalam pemahaman bahwa ia meyakini bahwa ada Satu subjek yang Maha dan Serba Menentukan Segala– akan jauh lebih mudah menerima dimensi yang satu ini ketimbang mereka yang menolaknya. Dan percayalah, salah satu manfaat dari memahami dan menerima dimensi ini adalah terbukanya peluang bagi kita untuk memahami dan menerima segala macam bentuk kejadian yang menimpa kita (baik ataupun buruk) itu.


Enjoy your (free) choice and be Responsible, also be Grateful!




Pertanyaan penting yang juga menjadi masalah penting dalam praktek kehidupan kita sehari-hari adalah: “apa yang harus saya lakukan jikalau telah mengambil keputusan yang salah?”, atau sebaliknya, “bagaimana saya tahu saya telah membuat keputusan yang benar?”. Well, saya kira tidak ada jawaban tunggal untuk pertanyaan model seperti itu. Dan jawabannya tentu akan sangat tergantung pada masalah (pilihan) apa yang kita hadapi, parameter-parameter masalah yang harus kita pelajari, juga pada standar (prinsip) dan acuan (orientasi) yang kita ikuti...


Tapi anggaplah saya sedang berbaik hati dan menawarkan sebuah jawaban atas dua bentuk pertanyaan itu: “Anda tidak akan pernah tahu jika keputusan (pilihan) yang Anda buat adalah benar ataupun salah. Namun, Anda akan selalu tahu apabila pilihan tersebut benar/salah berdasarkan gejolak hati yang muncul, suara nurani yang timbul, juga reaksi serta ekspresi dari dalam diri atau orang di sekitar Anda yang terjadi. Intinya bukanlah menentukan pilihan yang benar/salah, melainkan melakukan hal yang BENAR begitu Anda merasakan pilihan tersebut benar/salah”.

Maka, ketika memaknai cerita si Udin dan saya kembali dalam sudut pandang yang “lebih positif” saya menyadari, bahwa ini-lah yang harus terjadi (saya “cacat cukur”--saya kecewa--saya termotivasi menulis--jadilah tulisan ini). Ini dimensi sebab akibat-nya. Lalu dengan mengingat dan mendaftar lagi “konteks dan momentum” yang terjadi, juga mempertimbangkan kemampuan saya memilih saat itu (choicability), pada akhirnya saya pun menyadari, ini tentulah sudah seharusnya terjadi –karena memang ditakdirkan untuk terjadi.


Dan saya lagi-lagi tidaklah sedang berapologi ataupun berusaha merasionalisasi semua ini dengan mengada-ada sekali.


Di ujung tulisan ini, saya hanya ingin menggarisbawahi bahwa segala macam permasalahan hidup, kompleksitas pilihan, dan beragam konsekuensi (baik-buruk) yang membayangi kita sepanjang hari tidaklah selayaknya dihadapi dengan perasaan takut dan mencekam apalagi memenjarakan diri sendiri (dalam persepsi dan emosi negatif). Apa yang harus kita miliki dengan segala situasi dan variasi kehidupan semacam ini adalah kelapangan hati untuk menjalani hari-hari yang tak pasti; juga keberanian untuk bertanggung jawab dan menanggung resiko/akibat dari segala yang telah kita perbuat; serta sejumput rasa kesyukuran (jika bukan merupakan bibit kebahagiaan) –karena kita sudah diberi kesempatan untuk menjalani satu bentuk kehidupan dengan beragam kesan, pesan, dan kenangan...




Terima-Hadapi-Syukuri...

(agar hidup lebih berarti)...


~Ahmad Arafat~

[http://ahmadarafata.blogspot.com/2012/11/the-art-of-choiceing.html]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun