Mohon tunggu...
Ahmad Arafat
Ahmad Arafat Mohon Tunggu... karyawan swasta -

A first-born child. A dreamer. A thinker and philosopher-wannabe. A junior-engineer. An ongoing-writer/author/traveler/enterpreneur. A wondering wanderer. And... also, a sincere-lover.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

The Art of Choice(+)ing

25 Februari 2013   17:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:42 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tak ketinggalan juga saya meratapi nasib diri ini seraya memaki diri sendiri karena tak berani tegas mengambil keputusan untuk berpaling pergi sewaktu tahu harus mengantri disini.

#sigh

Apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur, begitu kata pepatah. Analogi dengan itu, saya jadi punya pepatah baru, Thomas Jorgi kini menjadi Narji Cagur. Seperti itulah saya menilai dan mendapati diri saya sendiri dari apa yang mirror mirror on the wall tunjukkan dan katakan lamat-lamat. Gaya rambut semi-mohawk yang saya bayangkan bisa peroleh di awal ternyata menjelma menjadi gaya rambut entah-apa-namanya. Rambut di tepi dan atas pelipis kiri kanan saya dibabat habis dan hampir bolong laksana bukit tandus yang tak lagi memiliki pepohonan akibat erosi tanah. Rambut di kepala bagian tengah yang seharusnya bisa diberdirikan (ini kan gaya mohawk?) rupa-rupanya memiliki panjang yang relatif sama dengan rambut di tepi kepala sehingga jangankan untuk diberdirikan a la mohawk, digenggam dengan tangan saja, ya Salaaam! Long story short, model potongan rambut saya ini kalau mau disimpulkan, menurut saya bagaikan sintesis dan kolaborasi dari potongan model cepak-nya polisi (tampak samping), model “wingko babat” (tampak belakang), dan “sayap kelewar” (tampak depan). Mengenaskan...

Dengan lemah lunglai juga perasaan tak bergairah yang lambat laun berubah bentuk menjadi rasa malu yang tak terkira saya pun menyelesaikan transaksi, menyudahi keperluan dengan si Udin, dan beranjak pulang dengan raut wajah terhina. Bau bedak yang sepertinya sudah kadaluarsa – atau diproduksi sejak jaman purbakala – masih dengan kokohnya menempel dan menusuk hidung saya. Rasa jijik saya kemudian menjadi-jadi demi membayangkan dan mengingati lagi betapa minimnya pengetahuan si Udin mengenai aspek “higienis” dalam perlengkapan dan peralatan cukur yang digunakan sesukanya. Saya tak peduli lagi, saya ingin segera mandi...

Saya harus memulihkan diri dari teror ini!

***

The Simplicity of Life vs The Complexity of Choicing: A Paradox!




Hidup itu sederhana, kawan! Anda tak mau (baca: berani) hidup? Mati saja! Anda tak mau mengambil resiko, maka jangan berharap bisa mengeruk keuntungan juga keberuntungan. Hidup itu cukup sederhana karena jika Anda tak yakin bisa melaluinya, maka lebih baik tinggalkan saja secepatnya (In Life: Live it, or, Leave it!). Tapi hidup, selalu penuh cerita, romantika, juga seperti peta yang tak pernah mudah untuk dibaca! Jika hidup adalah “perjalanan”, maka untuk melalui perjalanan ini agar sampai ke tujuannya dibutuhkan “peta hidup” untuk membimbing kita dan mencegah kita dari tersesat atau tersasar. Dan terkadang, membaca “peta” tersebut, tidaklah selugas membaca persamaan matematika... Pilihan! Itulah yang membuat perjalanan-hidup dan peta-hidup masing-masing dari kita menjadi penuh tanda tanya...


Sejatinya, kita hidup di masa ini, masa lampau, hingga masa depan nanti senantiasa diliputi oleh beragam pilihan-pilihan yang –terkadang– membingungkan dan berpotensi menjerumuskan serta membuat kita “salah jalan”. Cerita panjang nan memilukan milik saya di atas menjadi contoh kasusnya. Bisakah Anda lihat, bahwa sesimpel apapun tujuan atau aktivitas hidup yang ingin saya capai, ternyata aspek pilih-memilihnya bisa berimbas ke begitu banyak hal yang tak terpikirkan sebelumnya? Dapatkah Anda proyeksikan, bahwa berapapun banyaknya pilihan yang kita punya, terkadang memilih dan mengambil satu “pilihan” yang tepat dan “memuaskan” kita bisa menjadi pekerjaan yang sangat berat dan mendebarkan? Mampukah Anda selami, bahwa ada paradoks yang dapat ditemui pada seluruh ruang kehidupan kita: semakin banyak pilihan yang kita punya, tidak membuat hidup kita semakin mudah dan sederhana – sementara semakin sedikit pilihan yang kita pertimbangkan juga tidak menjamin hidup kita bebas bencana?


The Art of Choosing : 4-Dimensions of Choice




Ada hal menarik ketika berbicara mengenai perihal “pilih-memilih” ini, hal mana yang saya definisikan sebagai dimensi-dimensi dari “pilihan dan pemilihan” (choices and choicing) tersebut.
Pertama, dimensi “sebab-akibat”, atau sebut saja dimensi Kausalitas. Bahwa segala sesuatu yang terjadi, ada penyebabnya. Segala sebab, pasti juga ada musabab-nya –penyebabnya yang paling pertama. Dan dimensi ini terjalin bagaikan mata-rantai yang tak pernah terputus dan tetap tersambung terus-menerus. Ketika Anda memilih, atau bersiap untuk memilih, salah satu hal yang pasti (dan mestinya) Anda pertimbangkan adalah “sebab-akibat” ini. Jika saya memilih tidak cukur malam ini mungkin saya tak akan berakhir menulis “pengalaman buruk” ini. Jika saya memilih mendatangi salon JA langganan saya mungkin potongan rambut saya lebih rapi dan memuaskan diri. Itulah Aksi-Reaksi, “Butterfly Effect”, dan seterusnya, dan seterusnya...


Kedua, dimensi “konteks dan momentum”. Apa yang menjadikan saya – dalam cerita di atas – begitu ngebet harus potong rambut malam ini? Karena besok hari kerja, rambut saya sudah cukup panjang (katanya), serta dua hari ke depan ada acara penting yang akan saya hadiri. Itu adalah “konteks” maupun latar belakang masalah yang menjadikan saya memilih memotong rambut malam tadi. Lalu, ketika faktor “batalnya bermain futsal”, “minimnya anggaran keuangan”, “adanya waktu lapang” dimasukkan ke dalam pertimbangan, inilah yang saya sebut sebagai “momentum”: pertemuan antara “entitas” ataupun “substansi” dengan aspek timing maupun spacing yang terjadi. Sebagai pembanding, saya mengajak Anda kembali ke pelajaran Sejarah dan mengingati kembali “konteks” dan “momentum” apa saja yang menyebabkan Proklamasi terjadi pada 17 Agustus 1945. *Selamat berkhayal. :)


Ketiga, dimensi “choicability” (keterpilihan). Ini dimensi yang saya buat-buat dan sebut sendiri sebagai “choiceability” (choice + ability). Saya pun menerjemahkannya secara bebas dengan istilah “keterpilihan”. Mari kita berilustrasi sedikit. Dua orang, dengan dua kebutuhan/keperluan yang sama, dengan berbagai pilihan yang sama –apakah keduanya akan mengambil pilihan yang sama persis? Jawabannya, tentu saja tidak. Apa yang membedakan pilihan keduanya? “Choicability”lah penentunya. Apa itu choicability? Saya mencoba bersotoy-ria dan menawarkan pengertian berikut. Choiceability (keterpilihan) adalah “kemampuan dan kapasitas seseorang untuk menerima dan mengolah spektrum pilihan yang diberikan kepadanya, lalu memiliki kecenderungan untuk menjatuhkan pilihan dari berbagai spektrum pilihan tersebut berdasarkan kompleks pengetahuan, pengalaman, dan karakter yang dimilikinya”.


Mari kita membuat sampel kasus. Kebutuhan: Sarapan Pagi. Pilihan: Sarapan Bubur; Nasi Uduk; Nasi Kuning; Roti Sandwich, dll. Skenario: Dua orang yang berbeda kadar “choicability”nya ketika dihadapkan pada 1 pilihan yang sama pun (misal: keduanya ingin makan nasi uduk) bisa jadi berbeda dalam menjatuhkan pilihan masing-masing. Si A, yang mungkin masih baru di lingkungan sekitar hanya memutuskan dengan segera membeli nasi uduk di dekat rumahnya. Sementara si B, yang lebih “tahu” memutuskan membeli nasi uduk mengendari motor menuju pasar X karena mengetahui di tempat tersebut ada penjual nasi uduk yang terkenal enak dan murah. Jelas, yang membedakan si A dan si B – meski mereka dihadapkan pada pilihan yang sama – hanyalah kapasitas “keterpilihan” yang mereka miliki.


Keempat, dimensi takdir (fate). Ini mungkin terdengar agak supernatural, transedental, dan sejenisnya. Ini juga bukanlah dalam batas pengendalian (serta pemahaman) manusia. Namun, tak dapat dipungkiri, dimensi terakhir ini merupakan dimensi yang paling krusial dan vital yang menentukan jadi tidaknya suatu pilihan diambil. Singkatnya, marilah kita baca lagi cerita di awal, dan bisakah Anda menolak ketika saya katakan bahwa sejatinya “musibah” yang menimpa saya malam ini terjadi karena memang sudah seharusnya (baca: ditakdirkan) untuk terjadi? Hukum Murphy menyatakan bahwa “apa yang mungkin terjadi suatu saat –cepat atau lambat– PASTI akan terjadi”. Saya kira logika (teorema) yang sama bisa diterapkan untuk memahami takdir; bahwa sesuatu yang ditakdirkan terjadi atas kita; pasti akan terjadi! Dan ia akan terjadi melalui serangkaian mekanisme, proses, alur dan rangkaian yang –baik disadari maupun tidak– akan menggiring kita pada single event tertentu dan menciptakan “takdir” itu...


Apakah “kebetulan” semata Anda terlahir dari seorang ibu yang Anda kenal dan seorang ayah yang Anda kenal seperti sekarang? Apakah “kebetulan” semata Anda terlahir sebagai seorang yang ..... (fill in the blank)? Nothing is merely coincidence.. And eventhough there are so many possibilities for every single aspect of our life, FATE indeed is a good answer that will cover all the questions we have... Mungkin ini terdengar klise, namun orang yang beragama –dalam pemahaman bahwa ia meyakini bahwa ada Satu subjek yang Maha dan Serba Menentukan Segala– akan jauh lebih mudah menerima dimensi yang satu ini ketimbang mereka yang menolaknya. Dan percayalah, salah satu manfaat dari memahami dan menerima dimensi ini adalah terbukanya peluang bagi kita untuk memahami dan menerima segala macam bentuk kejadian yang menimpa kita (baik ataupun buruk) itu.


Enjoy your (free) choice and be Responsible, also be Grateful!




Pertanyaan penting yang juga menjadi masalah penting dalam praktek kehidupan kita sehari-hari adalah: “apa yang harus saya lakukan jikalau telah mengambil keputusan yang salah?”, atau sebaliknya, “bagaimana saya tahu saya telah membuat keputusan yang benar?”. Well, saya kira tidak ada jawaban tunggal untuk pertanyaan model seperti itu. Dan jawabannya tentu akan sangat tergantung pada masalah (pilihan) apa yang kita hadapi, parameter-parameter masalah yang harus kita pelajari, juga pada standar (prinsip) dan acuan (orientasi) yang kita ikuti...


Tapi anggaplah saya sedang berbaik hati dan menawarkan sebuah jawaban atas dua bentuk pertanyaan itu: “Anda tidak akan pernah tahu jika keputusan (pilihan) yang Anda buat adalah benar ataupun salah. Namun, Anda akan selalu tahu apabila pilihan tersebut benar/salah berdasarkan gejolak hati yang muncul, suara nurani yang timbul, juga reaksi serta ekspresi dari dalam diri atau orang di sekitar Anda yang terjadi. Intinya bukanlah menentukan pilihan yang benar/salah, melainkan melakukan hal yang BENAR begitu Anda merasakan pilihan tersebut benar/salah”.

Maka, ketika memaknai cerita si Udin dan saya kembali dalam sudut pandang yang “lebih positif” saya menyadari, bahwa ini-lah yang harus terjadi (saya “cacat cukur”--saya kecewa--saya termotivasi menulis--jadilah tulisan ini). Ini dimensi sebab akibat-nya. Lalu dengan mengingat dan mendaftar lagi “konteks dan momentum” yang terjadi, juga mempertimbangkan kemampuan saya memilih saat itu (choicability), pada akhirnya saya pun menyadari, ini tentulah sudah seharusnya terjadi –karena memang ditakdirkan untuk terjadi.


Dan saya lagi-lagi tidaklah sedang berapologi ataupun berusaha merasionalisasi semua ini dengan mengada-ada sekali.


Di ujung tulisan ini, saya hanya ingin menggarisbawahi bahwa segala macam permasalahan hidup, kompleksitas pilihan, dan beragam konsekuensi (baik-buruk) yang membayangi kita sepanjang hari tidaklah selayaknya dihadapi dengan perasaan takut dan mencekam apalagi memenjarakan diri sendiri (dalam persepsi dan emosi negatif). Apa yang harus kita miliki dengan segala situasi dan variasi kehidupan semacam ini adalah kelapangan hati untuk menjalani hari-hari yang tak pasti; juga keberanian untuk bertanggung jawab dan menanggung resiko/akibat dari segala yang telah kita perbuat; serta sejumput rasa kesyukuran (jika bukan merupakan bibit kebahagiaan) –karena kita sudah diberi kesempatan untuk menjalani satu bentuk kehidupan dengan beragam kesan, pesan, dan kenangan...




Terima-Hadapi-Syukuri...

(agar hidup lebih berarti)...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun