Mohon tunggu...
Ahmad Arafat
Ahmad Arafat Mohon Tunggu... karyawan swasta -

A first-born child. A dreamer. A thinker and philosopher-wannabe. A junior-engineer. An ongoing-writer/author/traveler/enterpreneur. A wondering wanderer. And... also, a sincere-lover.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

The Art of Choice(+)ing

25 Februari 2013   17:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:42 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock


Kamis malam, selepas dari bekerja di kantor, saya bergegas pulang. Ada beberapa agenda yang ada di benak saya, menunggu untuk dipenuhi: makan malam (dijamak dengan hajat makan siang yang belum ditunaikan), main futsal, dan, potong rambut. Dengan menggeber gas motor kesayangan, saya berpacu dengan waktu, memburu di tengah keramaian malam. Saya pun singgah di sebuah kedai yang menjual aneka macam soto di pinggir jalan. Dengan lahap dan nikmat, saya pun makan mengisi perut yang keroncongan. Sembari menikmati makan malam tersebut, 1 SMS masuk ke HP saya, dari Teguh rekan sekantor dan teman sekosan, mengabarkan bahwa malam ini jadwal main futsal dibatalkan. Argh.. Kecewa!

Mengetahui bahwa tampaknya malam ini tak dapat melakukan aktivitas olahraga malam mencari keringat dengan berburu dan berebut 1 bola di lapangan berudara kusam, berarti selepas makan hanya ada 1 agenda tersisa: potong rambut. Atas saran seseorang yang spesial, dan demi bertemu orang-orang yang spesial pula, saya pun memutuskan memang sudah waktunya untuk memangkas “bulu-bulu” yang tumbuh di kepala ini. Saya pun mengangsurkan pilihan-pilihan yang berkembang. Ke salon profesional “JA” tempat saya biasanya memotong rambut, umumnya berada di dalam mal dan karena letaknya cukup jauh dari kosan –apalagi ini masih tanggal tua– saya menganggap ini bukanlah pilihan yang tepat. Maka sepanjang jalan pulang pun mata ini dipicingkan untuk mencari-cari apabila ada salon yang masih buka. Sayang, nihil hasilnya.

Saya kini tinggal satu blok lagi dari jalan menuju kosan. Satu-satunya pilihan yang tersisa kini adalah salon yang tempo hari baru ditempati oleh Teguh demi memotong rambutnya, tidak jauh dari kosan di seberang sekolah pinggir jalan. Sebetulnya ada satu lagi salon selain salon yang akan saya datangi ini. Namun, melihat “pengelola”nya membuat niat saya menciut serta-merta. Dengan tidak bermaksud merendahkan, orang yang ada di salon yang satu itu membuat saya takut. Penampilannya sekilas seperti seorang perempuan, dengan rambut panjangnya, hidung bangirnya, juga dagu lancipnya. Tapi, sebagaimana orang mafhum, seperti itu pulalah saya tahu bahwa dia sejatinya bukan perempuan. Sebagian menyebutnya dengan –kasar– nama “waria”, sebagian melabelinya dengan “trans-gender”. Jelas, saya menghindari hal ini, dan tak berharap memiliki banyak interaksi dengan tipe orang seperti itu –tidak, jika tidak darurat.

Setelah memastikan lokasi salon yang dituju, saya pun berhenti dan bermaksud masuk ke dalam salon mungil yang berada di samping warung padang tersebut. Lewat pintu gesernya yang berbahan kaca, saya melongok berusaha mencari “penunggu” tempat tersebut. Tapi tampaknya tak ada orang. Takut saya salah lihat karena rabun ataupun mungkin terhalang lapisan film di kaca tersebut, saya menggeser pintunya untuk membuka ruangan itu.GRRRTTSS... Suara gesekan pintu tersebut begitu berisik, berdecit dan berderak sekaligus. Setelah pintu terbuka pun, dan dengan saya memanggil penghuni salon itu, tetap tak ada orang di dalamnya. Jangan-jangan salon ini sebetulnya sudah tutup, lalu penghuninya sudah pulang?

Setelah beberapa lama terpaku di depan pintu, dan karena takut dicurigai sebagai maling *meskipun tampang (sok) innocent begini :D* saya mengarah ke motor, bermaksud hendak pulang saja. Sejurus kemudian, seorang lelaki berbaju merah bergegas menghampiri saya, disusul seorang pria lain berbaju krem dari arah jalan berlawanan namun menuju pintu yang sama. Salah satu dari mereka pastilah penunggu saloniniyang dari tadi ditunggu-tunggu. Tak perlu waktu lama bagi saya untuk mengenali mana sang penunggu, mana sang pelanggan. Meski dari tampangnya masih meragukan, namun saya yakin seyakin-yakinnya bahwa pria berbaju kaos merah itulah si empunya salon. Setelah bercakap-cakap dan bertanyaseperlunya, saya pun masuk ke dalam ruangan yang tidak begitu luas itu, lalu menaruh tas punggung juga helm di bangku panjang yang tersedia.

Ternyata pria yang satunya lagi adalah pelanggan yang juga sepertinya dari tadi menanti kedatangan pria gemulai tersebut. Ya, seperti kebanyakan tenaga pekerja di sektor jasa semacam ini, pria (atau, setengah pria –kalau boleh saya menyebutnya demikian) itu terlihat begitu gemulai dalam berjalan, berlakugerak, juga ketika berbicara. Namun ada hal yang kontras, mukanya menyeramkan, saudara-saudara ! Menyeramkan dalam artian “sangar”, agak “macho”, kalau tidak dikatakan seperti “preman”. Saya mungkin agak hiperbolis mendeskripsikannya, tapi silahkan bayangkan muka “selebritis dadakan” yang dikenal dengan Udin Sedunia itu tapi dengan nuansa yang sedikit mencekam dan lebih seram! 84% seperti doi mukanya, kawan! Believe me (or not)!

Meskipun saya adalah orang pertama yang masuk ke dalam ruangan salon itu, namun bukan saya yang dilayani pertama kali. Adalah pria berbaju krem tadi yang rupa-rupanya sudah menjadi pelanggan tetap dan mengakrabi salon itu yang duduk duluan dan bersiap “digagahi” #ehmaksudsaya digagahkan (!) oleh sang penata rambut. Ada sedikit rasa kecewa mengetahui bahwa saya harus menunggu di belakang orang terlebih dahulu, namun fakta bahwa masih banyak waktu tersisa malam ini membuat saya sedikit lebih sabar dan mengalah. Alhasil, saya hanya duduk menunggu giliran di bangku deret yang menghadap meja dan cermin rias yang panjang yang terbentang di depan saya itu.


Sambil menunggu pelanggan yang dilayani lebih dulu dari saya itu, si Udin (mari kita panggil saja si penunggu salon tersebut demikian), menyiapkan berbagai hal. Saya hanya termangu memperhatikan dan menyaksikannya dengan seksama. Yang pertama ia lakukan adalah menyalakan TV yang berada di atas kepala itu. Saya kira saluran TV terestrial yang diputarnya, ternyata sudah ada DVD yang sedia di-play dan menjadi tontonan hiburan, nampaknya. Dugaan saya ini DVD pasti berisikan lagu karaoke tembang kenangan sepanjang masa (melihat sisi “mellow” dari muka berkarakter “si Udin” ini). Atau kalau bukan, DVD campur sari yang upbeat dan biasa saya saksikan di warung tegal langganan. Atau kalau masih bukan juga, DVD konser dangdutan yang memamerkan perempuan bohay sang penyanyi lihai yang berjoget aduhai... Saya salah... *dan kesalahan saya ini masih belum ada apa-apanya dibanding “kesalahan-demi-kesalahan” saya berikutnya.

Ternyata DVD yang ditampilkan dan telah dinyatakan “lulus sensor” oleh Lembaga Sensor Film tersebut (sejenak saya mengira ini film koboi tempo doeloe) merupakan DVD lagu-lagu. Ahh, itu mah biasa, bukan begitu? Yang bikin mata saya mendelik dan dada saya bergidik akhirnya, lagu dan (sepertinya) penyanyinya ke-Arab-Araban gitu, tuan-puan! Saya mencoba bersabar dan berharap kenyataannya tak seperti yang saya takutkan. Ternyata saya keliru, lalu bak tertipu. Itu DVD buatan lokal (sangat kental “muatan lokal”nya, malah) dengan penyanyi yang namanya di-Arab-Arabkan (entah nama asli apa bual-bualan), namun dengan playlist lagu-lagu murni berjudul Arab semuanya. Mengezutkan! Seorang berwajah sangar, berpembawaan gemulai seperti itu menggandrungi genre musik “marawis modern” (begitu saya menyebutnya) yang dibawakan oleh biduanita berkerudung lengkap dan berwajah Indonesia sekali. Saya geli sendiri dan rasanya ingin geleng-geleng kepala seribu kali...

Keanehan berikutnya terjadi. Sambil memulai menggunakan peralatan cukurnya dan meranggaskan helai demi helai rambut sang pelanggan, si Udin berlenggak lenggok kecil mengikuti irama “padang pasir buatan” yang mengalun melalui speaker TV. Lucu menyaksikan tingkahnya yang terlihat begitu menikmati alunan ayat-ayat suci musik unik tersebut. Dan kehebohan berikutnya yang menggegerkan jagad observasi saya (yang sedari tadi memasang muka acuh tak acuh padahal sejatinya memerhatikan dengan sedetail-detailnya) adalah ketika ia mengeluarkan tutup kepala berupa kupluk berwarna coklat lalu mengenakannya di kepala! Apakah itu topi sakti mandraguna yang berfungsi memberikan dia kekuatan super dan menjadikannya mahir memotong rambut??? Apakah itu “ritual khusus” yang mesti dipenuhi setiap kali ia beraksi?? Sepertinya ia bermaksud menghindari terjadinya kontaminasi potongan helai rambut agar tidak menempel di rambutnya sendiri (?) Hanya si Udin dan Tuhan yang tahu.

Lalu waktu pun terus menemani si Udin yang bekerja dengan telaten dan tekun melayani pelanggannya itu. Tak lama kemudian, selesailah si pelanggan pertama menunaikan hajatnya. Dengan hati was-was, meragu dan bertanya-tanya, saya pun melangkah malas-malasan menuju kursi pesakitan ketika ia mempersilahkan saya duduk di sana. Ungkapan doa terpanjat di dalam hati serius sekali, demi mengharapkan si Udin bisa melaksanakan tugasnya dengan paripurna dan memenuhi espektasi saya setinggi-tingginya. Dan dengan jari-jemarinya bermain dengan peralatan yang ada (gunting dan sisir), ia bekerja –saya pun terus berdoa.Satu demi satu helai rambut semi-kriting saya berjatuhan di lantai dan di celemek yang dipasangkan menutupi bagian tubuh depan saya ini. Saya baru tersadar bahwa ini juga celemek yang sama yang digunakan pada pelanggan sebelum saya, juga handuk yang sama yang dilingkarkan di leher saya juga di leher orang sebelumnya. Hiii....!

Awalnya saya menganggap biasa saja prosesi pencukuran dan pemotongan rambut saya tersebut. Di awal tadi, saya sudah menyebutkan dengan jelas dan tegas jenis potongan seperti apa yang saya inginkan dan model rambut seperti bagaimana yang saya harapkan. Dari pengalaman nyalon sebelumnya (maaf, saya tidak sedang mendeklarasikan diri sebagai pria metroseksual), instruksi semacam itu berhasil memberikan “juru gunting” arahan dan acuan tugas yang pasti untuk diikuti. Sedikit yang saya sadari, bahwa “selalu ada pertama kali untuk segala sesuatu”, dan malam ini tampaknya merupakan “malam pertama” mengalami apa yang saya deskripsikan sebagai ‘cacat gunting’. Bagaikan mozaik lukisan yang perlahan-lahan terurai dan terekonstruksi menjadi gambar yang lebih jelas, seperti itu pula saya memandang potret wajah saya di pantulan kaca di muka. Laksana semburat cahaya yang merasuki ruang-ruang gelap dan hitam lalu mengungkap yang tadinya tersembunyi dari pandangan mata, seperti itu juga saya melihat gambaran “bentuk baru” kepala dan sekitar kepala saya dengan lebih utuh dan menyeluruh.

Lalu saya kemudian terdiam, membisu seribu bahasa...

Lalu saya pun tercenung, menyadari –juga mengutuki– kebodohan saya yang melangkahkan kaki ke sini sedari tadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun