"Kepakaran telah mati dan ilmu pengetahuan telah dikesampingkan".Â
Begitu kira-kira Tom Nichols menggambarkan suramnya penghargaan terhadap pengetahuan dalam bukunya The Death of Expertise.Â
Kita tahu bahwa akses internet yang terbuka dan informasi yang mengalir seperti air bah membuat orang lebih mudah mendapatkan rujukan dalam waktu cepat. Hanya keterbatasan paket data, waktu dan memori yang menghalangi informasi tersebut bisa terserap.
Di sisi lain, semakin banyak ahli yang tak mau lagi turun memberikan pencerahan. Dia lebih senang berada di singgasananya dan melihat dari jauh sambil sesekali melirik sinis.Â
Dari jarak yang jauh itu dia melihat seseorang yang dia tahu kelakuannya buruk sedang menerangkan ilmu kepada orang lain dengan cara yang mudah dipahami dan sangat meyakinkan, namun substansinya keliru.
Media-media dan para pemilik otoritas, karena seringnya melihat pakar abal-abal tersebut dan lebih mudah diakses untuk diwawancara, menjadi lebih sering mengundang sang pakar untuk wawancara dan dimintai pendapatnya.Â
Maka lingkaran pengetahuan makin menjauh dari jalur yang benar. Informasi salah tadi mengalir, bermuara dan mengendap dalam ingatan kolektif masyarakat tanpa bisa dicegah.
Terdapat beberapa hal yang menghalangi terjunnya para pakar yang sesungguhnya ini menyapa khalayak. Pertama, mereka tak memiliki cukup ruang untuk berbagi pengetahuan, hanya para pemilik otoritas yang mampu mengundang narasumber dan juga memiliki cukup dana untuk menyewa hotel atau ruang pertemuan.Â
Kedua, mereka juga tak memiliki cukup waktu karena disibukkan dengan kerja-kerja profesionalnya.
Ketiga, para pakar ini masih menahan diri untuk tidak tampil di publik dan tidak cukup percaya diri berhadapan langsung dengan audiens.