Mohon tunggu...
Ahmad Amiruddin
Ahmad Amiruddin Mohon Tunggu... Insinyur - Aku Menulis Maka Aku Ada

Engineer, Penggemar Bola, Penggemar Jalan-jalan.| | Blog Pribadi : http://taroada.wordpress.com ||Semua tulisan adalah opini pribadi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Masa Pandemi dan Kembalinya Kepakaran

16 Agustus 2020   21:23 Diperbarui: 17 Agustus 2020   12:55 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi suasana penelitian di laboratorium| Sumber: SHutterstock via Kompas.com

"Kepakaran telah mati dan ilmu pengetahuan telah dikesampingkan". 

Begitu kira-kira Tom Nichols menggambarkan suramnya penghargaan terhadap pengetahuan dalam bukunya The Death of Expertise. 

Kita tahu bahwa akses internet yang terbuka dan informasi yang mengalir seperti air bah membuat orang lebih mudah mendapatkan rujukan dalam waktu cepat. Hanya keterbatasan paket data, waktu dan memori yang menghalangi informasi tersebut bisa terserap.

Di sisi lain, semakin banyak ahli yang tak mau lagi turun memberikan pencerahan. Dia lebih senang berada di singgasananya dan melihat dari jauh sambil sesekali melirik sinis. 

Dari jarak yang jauh itu dia melihat seseorang yang dia tahu kelakuannya buruk sedang menerangkan ilmu kepada orang lain dengan cara yang mudah dipahami dan sangat meyakinkan, namun substansinya keliru.

Media-media dan para pemilik otoritas, karena seringnya melihat pakar abal-abal tersebut dan lebih mudah diakses untuk diwawancara, menjadi lebih sering mengundang sang pakar untuk wawancara dan dimintai pendapatnya. 

Maka lingkaran pengetahuan makin menjauh dari jalur yang benar. Informasi salah tadi mengalir, bermuara dan mengendap dalam ingatan kolektif masyarakat tanpa bisa dicegah.

Terdapat beberapa hal yang menghalangi terjunnya para pakar yang sesungguhnya ini menyapa khalayak. Pertama, mereka tak memiliki cukup ruang untuk berbagi pengetahuan, hanya para pemilik otoritas yang mampu mengundang narasumber dan juga memiliki cukup dana untuk menyewa hotel atau ruang pertemuan. 

Kedua, mereka juga tak memiliki cukup waktu karena disibukkan dengan kerja-kerja profesionalnya.

Ketiga, para pakar ini masih menahan diri untuk tidak tampil di publik dan tidak cukup percaya diri berhadapan langsung dengan audiens.

Source : www.cmo.com.au
Source : www.cmo.com.au
Pandemi Mengubah Segalanya

Tapi semuanya berubah sejak masa pandemi ini datang. Ruang-ruang seminar terbuka lebar di dunia maya dan bisa dilakukan dan dikreasi oleh siapa saja. 

Tak perlu lagi bergantung kepada pemilik otoritas untuk membuat acara, para jelata pun bisa membuat panggungnya sendiri dan mengundang para ahli sebagai pembicara. Pelaksanaannya tak harus lagi di ruang khusus. Hanya cukup sebuah aplikasi dan gawai para peserta bisa terkumpul dalam sekejap.

Bekerja dari rumah juga memberi waktu luang kepada para ahli untuk bisa membagi ilmunya. Beberapa bulan terakhir saya mengikuti webinar dari para pakar yang sudah malang melintang puluhan tahun di bidang energi. Beberapa orang mantan menteri, mantan pembesar perusahaan besar di Indonesia, dosen-dosen ahli dan para peneliti.

Di lain pihak saya juga berkesempatan mendengar langsung para praktisi yang saat ini bekerja di banyak industri energi membagikan pengalamannya. Beberapa orang sedang membawakan materinya dari negeri yang jauh, yang saya pastikan dia akan jetlag dulu sebelum bisa membawakan materi kalau di undang memberikan ceramah di Jakarta.

Mereka semua turun, berbagi dan nampak sangat bersemangat. Para pencari ilmu juga demikian. Pengetahuan yang mereka bagikan selama ini terpendam karena tak semua para ahli memiliki platform untuk membagikan pengetahuannya. 

Tak semua punya akun Youtube, tak semua sering menulis di media atau di blog. Tak semua juga punya akses ke media dan institusi-institusi resmi. Tapi sekarang mereka punya waktu, punya tempat, juga punya audiens yang mau mendengar.

Ilmu Pengetahuan Kembali Dihargai

Di sisi lain, Covid-19 menyadarkan kita pentingnya mengutamakan pengetahuan sebagai tolok ukur dalam mengambil keputusan dan tindakan. Kita tahu, sudah terlalu sering masalah di negara kita dianggap bisa diselesaikan dengan tiga hal. Pertama dengan unjuk rasa, kedua dengan deklarasi, ketiga dengan survei.

Demo berjilid-jilid di jalan juga tak akan membuat virus ini gentar. Unjuk rasa mungkin bisa mengubah keputusan manusia, menaikkan gaji atau mendorong disahkan atau tidak disahkannya sebuah aturan. Tapi tak bisa dia menggugah perasaan virus. Karena seperti kata Yuval Noah Harari, makhluk selain manusia tak punya kesadaran bersama, juga tak percaya janji-janji sehingga tak bisa dibujuk.

Saat pandemik ini mulai berlangsung, kita akan dengan mudah menemukan di Youtube, sebuah komunitas yang mendeklarasikan kesiapan menghadapi Covid-19 lengkap dengan yel-yel, berteriak mengepalkan tangan, dan dilakukan di sebuah ruangan tertutup. Bisa dibayangkan dropletnya meluncur bermeter-meter pada saaat mereka berteriak "Yes, Yes, Yes", dalam jarak yang cukup rapat. 

Sungguh sebuah tragikomedi. Yang terjadi setelah deklarasi bisa saja virus menyebar dan berbiak lewat udara yang dihirup bersama oleh para peserta deklarasi.

Ada pula lembaga survei yang melakukan sigi dan mengambil kesimpulan bahwa pada bulan Juni 2020 virus corona akan pergi dari Indonesia. Untungnya masyarakat tak percaya hasil survei tersebut. 

Kita semakin sadar bahwa hanya ahli virus yang mengetahui virus tersebut. Buktinya setelah "wawancara" yang dilakukan lembaga survei tersebut virus-virus tak memilih hengkang, malah bertambah di beberapa daerah.

Di lain waktu muncullah para pakar virus corona dadakan yang merasa paling tahu virus corona di Indonesia. Media dan para YouTuber mewawancarai para pakar ini dan diamplifikasi oleh beberapa saluran YouTube para pesohor. 

Kasus terakhir adalah wawancara yang dilakukan Anji dengan Hadi Pranoto. Belakangan para ahli kesehatan bereaksi dan memberikan klarifikasi. Keriuhan yang ditimbulkan oleh pakar abal-abal ini menjadikan pakar yang sesungguhnya mau tidak mau maju ke gelanggang.

Beda dengan politik yang membolehkan aksi-aksi teatrikal dan dramatisasi. Virus Corona hanya bisa dilawan dengan berbasis bukti. Bukti-bukti ilmiah tersebut harus terverifikasi, melalu review sejawat yang ketat dan dapat direplikasi. 

Banyaknya muncul para teoritikus bidang kesehatan yang tak melalui reviu ilmiah tersebut menyuburkan kesadaran kolektif di kalangan ahli, mereka harus mulai bersuara. Telah banyak dokter dan tenaga kesehatan yang bersuara dan membagikan ilmunya melalui wadah-wadah virtual.

Masa pandemi ini adalah momen kembalinya kepercayaan publik kepada para ahli yang sebenarnya. Kepakaran dihargai dan ilmu pengetahuan akan kembali menjadi rujukan. Pada banyak peristiwa kita melihat, para pakar telah kembali dan menyapa khalayak. Semoga untuk seterusnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun