Banyak orang bertanya, kenapa tagihan listriknya naik selama masa pandemi ini. Adakah ini adalah permainan pemerintah yang tak transparan? Atau PLN menangguk untung sesaat seperti fenomena penjual masker?
Karena itu perlu kita lihat dengan baik. Masa pandemi ini, memaksa banyak orang lebih banyak di rumah dan bekerja di rumah. Di saat yang sama berarti aktivitas kebanyakan berpindah ke rumah. Rumah telah berubah menjadi sekolah, kantor dan kantin. Fungsi-fungsi tersebut mau tidak mau berdampak terhadap aktivitas yang meningkat dan juga berimbas kepada meningkatnya pemakaian listrik dan juga internet.
Lalu lintas internet terpengaruh secara signifikan. Kecepatan layanan provider saya amburadul dalam sebulan pertama Bekerja dari rumah (WFH). Jalannya sudah kayak kura-kura. Namun, ketika akan berpindah piihan ke provider lain, malah tak bisa dilayani karena sudah full jaringannya.
Tapi listrik? Nyaris tanpa persoalan. Tak ada keluhan berarti. Orang memakai listrik dengan nyaman. Tegangannya tak naik turun, juga tak ada banyak komplain soal layanan. Yang jadi komplain justru tagihannya.
Seperti kebanyakan orang, saya juga mengalami kenaikan penggunaan listrik sejak masa WFH ini. Saya kebetulan menggunakan listrik prabayar. Bulan kemarin, siklus pembelian token saya 500rb, bisa 30 hari. Â Terakhir ini siklusnya lebih cepat. Jadi 20 hari, dengan 500 ribu. Artinya ada kenaikan 50% dari tagihan sebelumnya.
Apakah ini karena tarif naik, tentu tidak. Tarif per kWhnya masih sama. Rp. 1467 untuk pelanggan 2200 VA. Masih sama seperti bulan lalu, bulan lalunya lagi, tahun lalu dan tahun lalunya lagi. Sejak 2017 tetap segitu.
Tangkapan layar dari aplikasi PLN Mobile juga mengonfirmasi bahwa tarif listrik saya masih segitu-segitu aja, masih sama. Tak naik, dan tak mungkin turun.
Saya mencoba menghitung perbedaan pemakaian antara sebelum WFH dan setelah WFH dengan membandingkan data pembelian Januari-Februari dengan April-Mei. Pembelian sekitar awal maret saya tidak hitung karena masa tersebut adalah masa peralihan antara WFH dengan sebelumnya.Â
Masa-masa itu yang menjadi penanda masa korona. Saya mendapatkan data bahwa pemakaian saya naik dari sebelumnya 10,63 kWH per hari menjadi seitar 15 kWH perhari atau terjadi kenaikan pemakaian dari sebelumnya Rp. 16.949 per hari menjadi Rp. 25.000 per hari atau ada kenaikan pengeluaran listrik sebesar Rp. 8.051.
Sudah 3 tahunan tarif tak naik. Tapi kebutuhan meningkat, gaya hidup juga mungkin menyesuaikan. Dan listrik jadi bagian dari itu. Â Saya sebenanrnya sudah mencoba berhemat. Dispenser saya sudah tak pakai listrik. AC saya setting 27 derajat, sudah pakai bak air, nyetrika bersamaan, lampu luar pakai sensor.
Kalau dari data, terjadi kenaikan pemakaian saya sekitar 5 kWH per hari. Hal ini bisa disebabkan oleh peningkatan pemakaian laptop dan komputer yang saya gunakan dan juga anak-anak gunakan untuk sekolah, kenaikan penggunaan penerangan yang mengiringi waktu WFH, kenaikan penggunaan pendingin ruangan berupa AC maupun kipas angin, ditambah oleh kenaikan pemakaian barang elektronik di dapur selama bulan ramadhan yang meningkat.Â
Sebelum bulan ramadhan kenaikan penggunaan listrik di dapur meningkat karena saya dan anak yang biasanya makan siang di luar harus makan di rumah juga yang menarik listrik dari pemanas maupun kulkas.
Apakah PLN juga untung besar karena kenaikan ini? Gak juga, 10% beban PLN justru bekurang karena pemakaian berhenti di sektor bisnis dan industri. Pengurangan 10% itu tak berarti juga ongkos produksinya berkurang 10% langsung, karena ada pos biaya yg gak peduli lagi jalan listrik atau tidak, tapi akan menjadi murah kalau banyak produksinya. Misalnya biaya pegawai atau maintenance. Â
PLN juga harus menanggung stimulus pembebasan/potongan pembayaran listrik bagi rumah tangga 450 VA dan 900 VA serta untuk bisnis dan industri 450 VA. Pada dasarnya semua babak belur. Semakin lama pandemi ini berlangsung, maka akan semakin berat beban PLN dan juga pemerintah.
Dalam situasi sekarang, tidak hanya kita sebagai konsumen yang babak belur membayar listrik. Perusahaan listrik juga ngos-ngosan sekarang karena semakin beratnya beban perusahaan karena menurunnya permintaan sementara sebagian dari produksi listrik tersebut berkonsep Take or Pay yang artinya mau gak mau harus tetap di beli. Konsep itu sebenarnya tak salah juga karena dirancang dan dibuat di masa normal. Banyak bisnis yang shock melihat kenyataan ini. Contoh lain Olimpiade di Jepang yang terpaksa di tunda tahun depan, mereka menyatakan selama 8 tahun merencanakan Olimpiade mereka tak punya skenario akan terkenda pandemi.
Dalam situasi kayak gini, saya berharap ada penyesuaian dari yang selama ini listriknya kita pakai. Misalnya, anak saya tentu tak pakai lagi listrik di sekolahnya. Biaya bulanannya bisa didiskon, ya misalnya 10%.
Kantor juga bisa memberi insentif yang sama. Selama kerja kantoran para karyawan memakai listrik kantor untuk pendinginan, lift, penerangan dan komputer. Sekarang biaya itu dialihkan ke rumah. Bolehlah juga ada insentif untuk itu.
Kepada kita yang sedang berada dan bekerja di rumah, mulai berhitung juga untuk menghemat listrik. Gunakan listrik seperlunya, nyalakan hanya yang penting. Kalau yang berkecukupan di rumah-rumah mewah, tak apa-apa pakai listrik banyak, supaya perusahaan listrik juga tak kolaps.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H