Mohon tunggu...
Ahmad Amiruddin
Ahmad Amiruddin Mohon Tunggu... Insinyur - Aku Menulis Maka Aku Ada

Engineer, Penggemar Bola, Penggemar Jalan-jalan.| | Blog Pribadi : http://taroada.wordpress.com ||Semua tulisan adalah opini pribadi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bangku Taman

22 Oktober 2013   05:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:12 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pak Jokowi gelisah, bangku-bangku yang sedianya untuk warga bersantai malah jadi tempat ciuman anak muda dan tempat tidur gelandangan. Pak Jokowi tentu tak senang dengan hal ini, maka dari itu beliau berinisiatif untuk mengubah desain bangku tersebut menjadi single. Ada pelajaran menarik dari bangku taman ini:

Pertama, bangku itu sebenarnya diperuntukkan untuk bersantai bagi warga yang mengunjungi taman, didesain double memang supaya bisa ditempati oleh keluarga. Pak Jokowi pasti sadar bahwa masyarakat Jakarta membutuhkan tempat duduk untuk menikmati taman sambil bercengkerama dengan keluarga. Dengan penatnya kota Jakarta, bersantai di Taman adalah cara mudah untuk menghilangkan stress. Sebagai pengusaha mebel  dan juga Gubernur, pak Jokowi tahu warga membutuhkan bangku untuk bersantai, maka dikirimlah bangku-bangku dari Solo untuk mengentertain warga Jakarta.

Kedua, kita tak siap untuk berbagi fasilitas umum. Bangku tersebut ternyata lebih sering digunakan oleh tunawisma dan tukang ojek. Berapa banyak kita lihat fasilitas umum di Jakarta diokkupasi bukan peruntukannya. Tak terhitung jumlah halte bus jadi tempat mangkal pedagang kaki lima, trotoar tak ada tempat buat pejalan kaki, tukang tambal ban di setiap perempatan, dan semuanya seperti merasa dia yang punya tanah disana, kita yang hanya sekali-sekali lewat tak punya hak untuk merasakan kenyamanan fasilitas tersebut.

Ketiga, Ini bukan berita baru dan sudah basi, Jakarta benar-benar sudah terlalu padat. Jumlah penduduk Jakarta  sudah diatas batas normal. Hampir tak ada tempat untuk bernafas dengan wajar di Jakarta. Taman yang sedianya buat relaksasi malah kadang terlalu padat dan terlalu banyak orang, sehingga kita harus berebut dengan orang lain bahkan hanya untuk sebuah tempat duduk.  Kalaupun sudah duduk dengan santai, tak lama kemudian antrian pengamen dating silih berganti. Pengamen di taman-taman bukanlah sahabat yang bisa menghibur, tak banyak yang mendendangkan lagu indah. Bahkan tak jarang pengamen tersebut memaksa kalau tak diberi.

Keempat, taman kita tak cukup penerangan. Penerangan bisa memberikan rasa aman kepada warga yang mengunjungi taman di malam hari, dan juga menghindarkan adegan mesum terjadi di tempat gelap. Dulu di monas, waktu saya masih ada proyek di sekitar Gambir, saya sering lewat di sekitar taman monas pada malam hari. Disekitar taman monas yang gelap itu terdapat abang-abang yang menyewakan tikar untuk pasangan muda-mudi yang lagi jatuh cinta tapi tak cukup modal untuk nongkrong di tempat lain. Tentu saja penyewaan dengan harga yang cukup mahal karena dalam cost penyewaan tersebut terdapat jaminan bahwa pasangan muda-mudi tersebut tak akan diganggu oleh siapapun. Entah bisnis yang sama masih terjadi sampai sekarang, saya tak tahu. Pak Jokowi sebenarnya bisa mengurangi adegan tidak senonoh di taman baik ditempat yang berbangku ataupun yang berbangku dengan memperbanyak penerangan di taman. Setan juga takut sama yang terang-terang.

[caption id="" align="aligncenter" width="520" caption="Bangku Taman di Edinburgh"][/caption]

Di Edinburgh, jumlah penduduknya hanya sekitar 400 ribu orang, tamannya sangat luas dengan tempat duduk dimana-dimana.  Bangku-bangku kayu yang berjejer dengan rapi di  Taman-taman Edinburgh adalah bangku kayu sumbangan para warga, bangku-bangku tersebut biasanya didedikasikan oleh penyumbang untuk mengenang keluarganya yang telah berpulang. Penyumbangnya bisa pribadi maupun organisasi tertentu. Dibangku tersebut tertulis nama-nama penyumbang dan untuk siapa bangku tersebut dibuat. Banyak bangku yang sudah lebih 30 tahun dan masih berfungsi dengan baik, tak nampak kehilangan kekuatan atau doyong dan membahayakan warga yang ingin duduk.

Ini tradisi yang baik sebenarnya karena bangku-bangku yang jumlahnya mungkin sudah ratusan tersebut menjadi tempat istirahat melepas lelah atau juga tempat belajar dan mencari inspirasi. Mungkin sebaiknya pak Jokowi mengkampanyekan juga kepada warga Jakarta untuk menyumbangkan bangku. Tapi tak usahlah, disumbang hari ini bisa hilang besok, apalagi kalau bangku kayu, gampang diangkutnya, kalau menyumbang bangku besi, malah bisa digergaji dan dijual ditukang loak.

Ah Jadi serba salah. Au ah… Itu urusan pak Jokowilah

Salam dari Edinburgh

http://taroada.wordpress.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun