Rokok itu tak baik, tidak hanya saya yang bilang, bahkan produsen rokokpun menuliskan itu di bungkus rokoknya. Karena rokok tak baik dan tetap saja banyak yang suka maka jadilah dia barang yang dibatasi dan dipajaki tinggi dibeberapa negara. Salah satu negara yang menjadi neraka bagi para perokok adalah Singapura.
Pak Suman dan Rokoknya
Beberapa bulan silam, saya bertemu dengan mantan bos saya di Siemens, Suman Sinha, di restoran India-Muslim di sebuah jalan di dekat Pusat Kota Singapura. Itulah untuk pertama kalinya saya ke Singapura. Suman adalah Warga Negara India yang pernah bekerja di Indonesia dan beristri Warga Negara Indonesia, sekarang dia bekerja di Singapura, di perusahaan tempatnya dulu bekerja sebelum ke Indonesia. Kami duduk di area khusus perokok. Saya memesan murtabak dan Suman memesan roti, mirip roti cane yang dulu kami makan di jalan Sabang. Selesai makan Suman mengeluarkan rokoknya, sebungkus Marlboro dengan peringatan macam rupa dibungkusnya lengkap dengan gambar bagian mulut yang terkena kanker, sebuah ancaman yang sangat menakutkan bagi para perokok.
Saya sudah tak biasa merokok, aturan “pemerintah” di rumah mengharuskan saya tak lagi merokok, akan tetapi saya kadang sedikit bandel, dan kali ini saya membawa sebungkus rokok dari Indonesia, rokok itu sudah lama tak tersentuh di tas. Buat jaga-jaga kalau lagi perlu.
Nostalgia bersama Suman tentang proyek-proyek yang dulu kami kerjakan di Indonesia dan sering bikin mumet mengalir seiring rokokpun keluar dari sarangnya. Ketika saya mengeluarkan rokok itu, Suman langsung memperingatkan, bahwa setiap batang rokok di Singapura harus mempunyai tanda SDPC. Kalau tidak ada, bisa kena denda sampai S$ 10.000. Dengan uang sebanyak itu, kita bisa merokok bertahun-tahun di Indonesia tanpa perlu khawatir dengan anggaran rokok, dan sisanya bisa digunakan untuk berobat ke dokter. Suman menunjuk dua orang berpakaian polisi yang tak jauh dari kami, yang kalau dibandingkan dengan polisi-polisi di Indonesia, dua orang tersebut kelihatan terlalu culun untuk ukuran polisi Indonesia, terlalu intelek dan tak keliatan tampang sangar, meskipun muka-muka kaku tanpa senyum khas Singapura melekat erat di wajah mereka.
Sayapun menyembunyikan bungkus rokok tersebut, meskipun tetap menghisap sebatang, rokok seharga sepuluh ribu perak itu bisa membuat saya bangkrut kalau kedapatan Polisi Singapura yang katanya tak bisa diajak damai. Pantesan saja, dulu ketika Suman di Indonesia merokoknya kayak kereta api. Disamping murah, larangan merokokpun hampir tak ada di negara yang kita cintai, yang oleh Suman di klaim sebagai negara yang sangat dicintainya juga, setelah India tentunya.
Peringatan Suman menuai tuahnya. Minggu kemarin saya berkesempatan ke Singapura lagi, kali ini tak melalui Changi, tapi menyeberang dari Batam. Saya dan rombongan berangkat pagi-pagi dari Harbour Bay, salah satu dari 4 pelabuhan penyeberangan di Batam. Sambil menunggu pemberangkatan, saya membeli dua bungkus rokok, yang rencananya akan saya berikan kepada sopir yang mengantar kami selama di Batam, tapi si sopir tak kunjung keliatan batang hidungnya. Satu bungkus saya buka dan hisap sebatang sambil menikmati udara pagi Batam.
Ketika panggilan boarding sudah terdengar dari speaker pelabuhan yang toiletnya sangat-sangat kotor tersebut sang sopir tak jua keliatan. Rokok tersebut saya masukkan ke tas kecil yang saya bawa bersama paspor dan NPWP didalamnya. Dua bungkus rokok itu bersama saya menyeberang ke Singapura. Seiring hilangnya sinyal HP saya Singapura telah semakin dekat. Perjalanan menyeberang hanya 45 menit, akan tetapi karena waktu Singapura dimajukan satu jam, maka secara waktu perjalanan menjadi 1 jam 45 menit.
Ketika tiba di pelabuhan Harbour Front Singapura, kami masuk dalam antrian imigrasi Singapura. Sedikitnya empat loket dibuka untuk mencap paspor para pendatang. Di depan, seorang polisi Singapura, yang sekali lagi keliatan culun mondar mandir mempersilahkan orang maju menuju loket. Tiba giliran saya, diperiksa oleh seorang gadis India-Singapura, ketika ditanya mau kemana? Saya jawab aja “Orchard”, kata orang-orang sih kalau jawab begitu bisa cepat prosesnya karena dikiranya kita akan menghabiskan uang di Singapura, tapi sori jek, saya tak ingin belanja di Orchard, kalaupun kesana paling hanya untuk foto-foto.
Setelah melewati petugas tukang stempel, saya masuk ke arah X-ray, sebuah tempat flyer tentang aturan singkat imigrasi tersedia sebelum jalur X-ray. Saya mengambil satu, tak sempat membaca penuh dan langsung memasukkan barang ke X-ray. Ketika saya sudah keluar dari pintu detektor logam, tas kecil saya masih dalam jalur conveyor, perasaan saya sudah tak enak, pasti ini ada apa-apanya, sementara teman-teman yang lain sudah menungu di luar.