Ideologi berlarian dari manusia ke manusia lainnya, masuk dalam balutan individu sampai mewabah pada kelompok serta tatanan masyarakat. Lompatanya jauh ke berbagai zaman dan generasi, kemudian ikut serta menyaksikan sejarah yang mengantarkan umat manusia kedalam wacana perubahan yang diikuti oleh romansa persatuan dan perpecahan, persekongkolan dan perselisihan, pertumpahan darah, keringat dan air mata, hingga ikut serta dalam konflik yang tiada pertanda kapan berakhir. Begitulah perjalanan ideologi mewarnai perkembangan budaya dan peradaban, hingga diskursus tentang ideologi yang menjamur akhirnya menguap keudara bersamaan dengan munculnya era disrupsi.
Dalam hal ini, kita akhirnya mempertanyakan. Seberapa relevankah ideologi terhadap individu manusia di era yang serba praktis hari ini?. Seluruh kemajuan dan perkembangan seakan-akan telah terlepas dari nilai-nilai ideologis dan beralih dengan memusatkannya pada sains semata. Memang benar jika kita menarik akar dari sains yang objektif dalam melihat realitas merupakan bagian dari ideologi yang rasional.Â
Akan tetapi, setelah objektifitas tersebut didapatkan manusia dan berkembang, maka nilai ideologis tersebut seakan memudar, tidak dibutuhkan lagi bahkan justru dianggap sebagai penghambat bagi perkembangan. Namun apakah benar bahwa yang tengah terjadi sekarang adalah hal yang demikian?.
Manusia membutuhkan suatu hal yang disebut sebagai pandangan dunia dalam memutuskan realitas, yang tidak lain ialah sumber terciptanya nilai-nilai ideologis. Hal ini disebabkan karena pertama, pandangan dunia merangkum berbagai hal fundamental yang menjadi pijakan dasar bagi manusia untuk menentukan otientasi.Â
Dalam urusan yang sederhana seperti makan dan minum, manusia membutuhkan dasar atas kegiatannya bahwa ia sedang merasakan lapar dan haus. Perasaan lapar dan haus merupakan kondisi realitas yang memaksa manusia untuk segera mengambil keputusan untuk bertindak menghadapi kondisi tersebut.Â
Akan tetapi perbedaan letak geografis, kondisi sosial dan ekonomi menciptakan perbedaan atas pilihan manusia dalam menyantap makanan dan minuman. Hal ini tentu berlaku terhadap urusan yang lebih kompleks. Seperti bagaimana pandangan dunia setiap manusia dalam memandang kondisi objektif materil jagat raya?.Â
Sudah dapat dipastikan bahwa sebagian manusia yang menyandarkan pandangan dunianya pada hal mistik akan mengasumsikan realitas adalah misteri. Begitupula dengan pandangan dunia yang rasional akan memunculkan asumsi objektifitas terhadap realitas yang rasional dan dapat diperiksa kebenarannya.
Kedua, pandangan dunia berkontribusi atas perbedaan sikap dan tindakan yang diambil oleh manusia. Perbedaan referensi atas pijakan dasar yang bersifat fundamental akan semakin mempertajam perbedaan orientasi manusia. Sedangkan orientasi mendasari sikap dan tindakan yang diambil manusia dalam menghadapi realitas.Â
Maka secara parsial, setiap manusia telah mengambil kemajemukannya yang mutlak, yang secara sederhana menyangkut aspek geografis, sosial dan ekonomi. Memang orientasi, sikap dan tindakan menjadi kesatuan bagi manusia dalam hidup meskipun masing-masing dari hal tersebut memiliki perannya. Seperti yang disampaikan oleh Franz Magnis-Suseno bahwa manusia membutuhkan orientasi dan dari orientasi tersebut manusia mengambil tindakan.
Ketiga, atas orientasi, sikap dan tindakan manusia menciptakan berbagai dinamika kebudayaan hingga pada tatanan yang lebih kompleks akan menghasilkan peradaban. Peradaban yang berbeda dari sebelumnya tentu akan merubah pandangan dunia manusia.
Pada peradaban yang telah menemukan kemajuan sains dan teknologi, nilai-nilai ideologis seakan memudar dan berganti dengan kerja praktis. Sehingga nilai yang bersifat universal itu tidak lain telah berubah menjadi nilai praktis yang tidak dikatakan berguna jika memang tidak dapat menunjukan kegunaannya.