Mohon tunggu...
Afwan Anwaruddin
Afwan Anwaruddin Mohon Tunggu... Lainnya - Pengguna Baru Lulusan BK

Belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita dari Sebuah Buku

27 Maret 2021   09:04 Diperbarui: 27 Maret 2021   09:11 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ia menangis di dalam ruangan ini. Aku bisa mendengar segukan tangisnya dari sini. Aku juga mengintipnya dari balik buku pelajaran. Kadang ia meneriakkan kebencian dan serapahnya. Aku tak tega mendengarnya. Tapi sial, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa.

Gadis cantik itu masih sekolah setingkat SMP. Ia baru beberapa bulan menapaki kakinya di kelas sembilan. Dia lahir dari keluarga biasa. Ayahnya menjadi supir truk besar pengangkut . Ibunya bekerja di sebuah hotel. Dia anak pertama dari keluarga itu. Adiknya, Riski, masih duduk di kelas 5 Sekolah Dasar. Dia sayang betul pada adiknya itu. Dia sering membantu Riski mengerjakan PRnya. Dia memang pintar. Dia selalu masuk 5 besar ranking kelas. Dia juga sempat menjadi ranking satu di kelasnya.

Aku memang sering bersamanya. Aku diajaknya kemana-mana. Dia selalu bercerita padaku tentang apapun. Aku akan mendengarkannya dengan semangat, sekalipun aku sudah tau apa yang akan diceritakan karena aku selalu berada di dekatnya. Aku senang menjadi tempatnya mencurahkan kesenangan. Aku juga sedih ketika ia menceritakan kesedihannya. Aku merasakan apa yang ia ceritakan padaku. Kekesalannya pada Andri teman kelasnya yang meminjam buku tapi belum juga dikembalikan, Amarahnya pada Siska karena menuduhnya menyontek, juga keinginannya menjadi seorang penulis. Aku tau semuanya sebab ia menceritakannya. Aku menyayanginya sebagaimana ia. Apapun akan aku korbankan untuknya.

*

Namaku Novi Andriyani. Aku masih bersekolah di SMP yang biasa-biasa saja. Orang-orang menganggapku pintar. Aku tidak terlalu percaya. Entah aku memang pintar atau kebetulan aku bersekolah di SMP yang biasa-biasa saja dan anak-anaknya tidak terlalu menonjol. Jadilah aku selalu masuk lima besar. Aku memang suka menulis. Sejak kelas lima sekolah dasar, aku selalu menulis hari-hariku di buku diary. Aku pertama tau dan memiliki buku diary dari ibuku. Ia memberikannya waktu pulang kerja. Katanya, karna ia jarang di rumah, maka ia membelikan buku diary agar aku bisa bercerita kalau ibu sedang keluar. Aku memang sering bercerita pada ibu. Apapun aku sampaikan. Ibu akan mendengarkanku sembari ia melipat baju, menyetrika, membaca majalah, atau apapun. Ibu memang pendengar yang baik dan mengerti. Adikku yang baru kelas dua waktu itu diberi hadiah juga. Ibu memberinya celengan. Kata ibu, lelaki harus pintar mengatur keuangan. Supaya nanti kalau ia sudah dewasa bisa punya keuangan yang cukup untuk dirinya dan keluarga. Setelah buku yang ibu berikan penuh, aku membeli buku lain yang lebih tebal sebagai penggantinya. Pikirku, supaya bertahan lama dan aku bisa banyak bercerita. Adikku membeli celengan lebih besar. Katanya, ia ingin membeli mobil Jeep. Nantinya ia belajar menyetir. Kalau sudah bisa, ia mau memboyong keluarga liburan. Hahaha.

*

Sudah lebh dari seminggu ini Novi tak mau bercerita padaku. Ia lebih memilih diam dan bermalas-malasan di kamar setelah pulang sekolah. Aku masih sering bersamanya, tapi aku sudah jarang mendengar ceritanya. Aku tau ada masalah berat yang ia tahan selama ini. Aku tidak berani memulai bicara padanya. Sekalipun aku ingin sekali mendengarnya bercerita. Aku sedih melihatnya murung dan tidak bergairah. Itu bukan Novi yang aku kenal. Selepas ia melepaskan baju seragamnya, dan menggantinya dengan kaos serta celana panjang, ia akan mengambil makan. Sepiring makan itu akan dihabiskannya di kursi dekat jendela kamarnya dalam waktu setengah jam. Bahkan terkadang lebih. Ia memainkan makanannya. Mengunyah dengan pelan. Membentur-benturkan sendok ke piring makanan berulang. Setelah habis, ia akan menaruhnya di bawah meja belajar. meminum segelas air. Tak lama ia akan merebahkan tubuhnya di kasur. Tidur.

Novi memang tidak mau bercerita, tapi aku tau. Ia mesti sedang sangat terpukul dan dongkol setengah mati pada lelaki itu. Lelaki yang telah menyiksa batinnya dengan kejam.

Malam itu ia sedang menceritakan harinya padaku. Pintu kamarnya tiba-tiba diketuk dari luar. Ia berjalan menuju pintu dan membukanya. Lelaki itu kemudian masuk. Lelaki itu kemudian berbicara dengan Novi. Menanyakan kegiatannya, sekolahnya, sampai pacar. Padahal aku tau, Novi belum ada keinginan sama sekali soal pacar meski teman-temannya sering bercerita tentang pacar mereka. Lelaki itu, kemudian menyuruhnya merapikan buku-bukunya, termasuk aku. Sebagai anak baik dan polos, ia menurutinya. Ia tak tau untuk apa tapi ia melakukannya. Aku kemudian disentuhnya, dituntun untuk bersebelahan dengan yang lain dari jenisku. Aku terus mendengarkan percakapan mereka yang terjadi setelah Novi berbenah. Mereka tidak terlihat begitu akrab. Biasa saja. Lelaki itu kemudian merayu Novi. Membujuk Novi untuk menuruti kemuannya. Novi memang anak yang baik. Dengan kepolosan dan ketakutannya pada lelaki itu, ia menuruti saja si lelaki. Aku tau sebetulnya hati Novi menolak. Sangat menolak. Tapi ia tidak tau mesti dengan cara bagaimana menolaknya. Ia hanya bisa diam.

Ia diam ketika lelaki itu menempelkan hidungnya di pipi. Ia hanya sedikit menggeser kepalanya karena geli-lebih tepatnya risih. Ia menggeser badannya ketika lelaki itu merapat. Ia sekali lagi menggeser kepalanya ketika bibir lelaki itu menyentuh kulit lembut di samping hidungnya. Ia terlihat risih. Sangat risih. Tapi kuasa lelaki itu menahannya bergeser ke sekian kalinya. Ia kemudian hanya mampu menggeliat. Laki-laki itu, dengan kuasanya, terus menyentuh wajah Novi. Perlahan kemudian, tangan lelaki itu menyentuh buah dada ranum milik Novi. Selanjutnya ia mengarahkan tangannya ke baju tidur Novi. Melepaskan kancingnya. Membukanya meski tangan Novi menahan.

Aku tidak kuat. Aku memilih menutup mata supaya tidak menyaksikan kejadian itu. Memejam sekuat mungkin. Telingaku aku tutup. Menahan setiap suara yang ingin masuk. Tetapi suara rintihan dan tangis Novi memaksa menerobos telingaku. Aku mendengarnya. Rintihan itu. Tangsi itu. Jeritan tertahan itu. Kesakitan itu. Aku hanya mampu menahan semua itu sembari meringkuk. Lalu air mata menetes.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun