Mohon tunggu...
ahmad affan alhammam
ahmad affan alhammam Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

رَغْبَةٌ فِي الخَيْرِ خَيْرٌ "Mencintai kebaikan adalah sebuah kebaikan"

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hadits Dhaif sebagai Dalil dalam Amal Ibadah

31 Januari 2023   22:58 Diperbarui: 31 Januari 2023   23:01 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sedangkan untuk penjelasan hadits dhaif akan dirincikan sebagai berikut :

Pengertian Hadits Dhaif

Adapun pengertiannya adalah :

"Hadits yang hilang daripadanya satu syarat dari syarat-syarat hadits yang maqbul (diterima sebagai hujjah)".

Yang dimaksud dengan syarat hadits maqbul adalah yang dapat dijadikan dalil atau hujjah adalah syarat hadits shahih atau hasan yang telah disebutkan di atas. Jadi, semakin banyak syarat hadits shahih yang tidak terpenuhi dalam suatu sanad dan matan maka hadits tersebut semakin turun tingkatannya.

Hukum Meriwayatkan Hadits Dhaif

Para ulama hadits (Sufyan ats-Tsauri, Abdullah bin al-Mubarak, Abdullah bin Mahdi, dan Ahmad bin Hanbal) menjelaskan bahwasannya boleh meriwayatkan hadits dhaif walaupun tidak menyebutkan sisi kelemahannya dengan syarat hadits tersebut tidak berkaitan dengan permasalahan akidah, halal - haram, atau hukum syara' lainnya. Hadits -hadits yang berkenaan dengan nasehat atau peringatan, keutamaan amal dan kisah-kisah boleh diriwayatkan sekalipun berstatus dhaif. Namun, ulama hadits menegaskan bahwa hendaknya dalam meriwayatkannya menggunakan redaksi yang mengisyaratkan kelemahan hadits tersebut dengan menggunakan shighah at-tamridh (kata pasif) seperti : "diriwayatkan, katanya terdapat dalam..., konon katanya, dan sebagainya". Redaksi-redaksi ini dapat mengisyaratkan bahwa si pembicara tidak meyakini atau tidak mengetahui status riwayat yang ia sebutkan tersebut.

Namun, ada satu hal yang lebih baik dilakukan ketika menyebutkan hadits dhaif yaitu dengan menjelaskan letak kelemahan hadits tersebut dengan mengatakan : "hadits ini dhaif/lemah dengan sanad ini, atau hadits ini dhaif/lemah pada matannya". Syeikh Abu Syamah berpendapat bahwa seseorang tidak boleh menyebutkan suatu hadits dhaif melainkan ia wajib menerangkan kelemahannya.

Pendapat Ulama Mengenai Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif

Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh atau tidaknya mengamalkan hadits dhaif, berikut penjelasannya:

  • Pendapat pertama, Boleh mengamalkan hadits dhaif secara mutlak baik dalam permasalahan halal-haram maupun tentang hukum wajib, namun tidak dalam permasalahan akidah dan berkenaan dengan sifat-sifat Allah Swt, namun dengan syarat:

1. Tidak ditemukan selain hadits dhaif tersebut sebagai dalil.

2. Tidak pula ditemukan hadits atau dalil lain yang lebih kuat yang bertentangan dengannya.

3. Hadits dhaif tersebut tidak terlalu lemah, sebab hadits yang terlalu lemah tidak dipergunakan para ulama hadits.

  • Pendapat kedua, Boleh beramal dengan menggunakan hadits dhaif pada perkara fadha'il al-a'mal (keutamaan-keutamaan amal yang sifatnya sunnah ringan, yang tidak berkaitan dengan masalah akidah dan dosa besar), at-targhib (memotivasi) wat tarhib (menakuti), sirah (kisah-kisah para Nabi dan orang-orang soleh), doa, dan zikir. Bahkan menurut Imam Nawawi hal ini sudah menjadi kesepatakan para ulama. Ini adalah pendapat mayoritas ulama hadits, di antaranya adalah Abdullah bin Almubarak, Abdurrahman bin Mahdi, Imam Nawawi, dan al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani. 

al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menetapkan beberapat syarat dalam menggunakan hadits dhaif sebagai dalil ibadah, yaitu:

1. Hadits dhaif yang diamalkan itu tidak sampai derajat sangat lemah, seperti diriwayatkan oleh seorang yang pendusta atau orang yang diduga pendusta.

2. Konten hadits dhaif tersebut memiliki dasar umum dari dalil yang lain.

3. Dalam mengamalkan hadits dhaif tersebut tidak meyakini bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah Saw.

  • Pendapat ketiga, Tidak boleh beramal dengan berlandaskan hadits dhaif sekalipun dalam fadha'il al-a'mal, karena sama halnya dengan perkara halal-haram. Selain itu mengapa dilarang, agar kita tidak mengatasnamakan Nabi Saw. perkataan atau perbuatan yang tidak disabdakan atau dilakukan oleh Nabi Saw. dan juga supaya orang tidak meyakini sunnahnya sebagai sesuatu yang sebenarnya tidak dikerjakan Nabi Saw. atau belum tentu dikerjakan oleh beliau. Hal ini agar kita terhindar dari neraka sebagaimana sabda Nabi Saw. : "Barang siapa menceritakan sesuatu hal daripadaku, padahal ia tahu bahwa hadits itu bukanlah dariku, maka orang itu termasuk golongan pendusta" (HR. Muslim). dan juga Nabi Saw. bersabda : "Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya di neraka" (HR. Bukhari dan Muslim). Ini adalah pendapat Abu Bakr Ibnu al-Arabi, Daud az-Zahiri, Ibnu Hazm, dan albani.

Kesimpulan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun