Pendahuluan: Lahir dalam Bayang-Bayang DosaÂ
Desa Taruna terletak di pinggir sungai yang mengalir malas, seperti penduduknya yang pasrah pada nasib. Dulu, desa itu adalah permata ekonomi daerah, dengan hamparan sawah yang subur dan pabrik kecil yang menjadi tumpuan hidup warga. Tapi kini, hanya tersisa debu, reruntuhan, dan cerita pilu. Salah satu cerita itu adalah kisah keluarga Rafi. Â
Rafi lahir di sebuah rumah panggung yang reot, hasil warisan kakeknya yang tak sempat direnovasi. Ayahnya, Pak Mahdi, dulunya seorang petani sukses, namun hidupnya hancur karena ulah saudaranya sendiri, Pak Arman. Arman, paman Rafi, adalah pria yang dikenal licik dan pandai merayu. Dialah yang mengambil alih seluruh tanah keluarga dengan janji muluk membangun masa depan cerah bagi desa. Nyatanya, tanah itu dijual untuk proyek pembangunan yang tak pernah selesai. Â
Ketika Rafi berumur lima tahun, ibunya meninggal karena sakit paru-paru. Ayahnya menjadi satu-satunya harapan hidup, bekerja siang malam sebagai buruh kasar untuk mencukupi kebutuhan mereka. "Kita ini seperti kerbau di sawah, Nak," kata Pak Mahdi suatu malam. "Dulu, kita yang punya sawah. Sekarang, kita yang jadi pekerja di tanah orang." Rafi kecil mendengar itu tanpa memahami sepenuhnya, tetapi kata-kata itu terukir di hatinya. Â
Pak Arman selalu menjadi bayang-bayang gelap dalam hidup mereka. Dengan kekayaan yang diraihnya secara licik, ia hidup mewah di kota, tetapi sesekali datang ke desa untuk memamerkan mobil barunya. Pada kunjungan terakhirnya, ia menuduh Pak Mahdi mencuri semen dari proyek pembangunan. Tuduhan itu cukup untuk membuat warga desa memandang rendah keluarga mereka. Ayah Rafi diusir dari pekerjaannya, dan mereka terpaksa meninggalkan rumah panggung mereka, pindah ke sebuah gubuk di tepi sungai. Â
Rafi tumbuh dengan dua hal dalam hidupnya: kemiskinan dan rasa malu. Di sekolah, ia sering diejek teman-temannya karena memakai sepatu robek dan seragam lusuh. Namun, ia tetap belajar dengan tekun. Guru-gurunya sering memuji kecerdasannya, tetapi tidak ada yang tahu bagaimana ia belajar dengan perut kosong dan lampu minyak yang nyaris padam setiap malam. Â
"Ayah, kenapa kita harus miskin?" tanya Rafi suatu hari. Â
Pak Mahdi menatap putranya dengan mata penuh harapan yang rapuh. "Kemiskinan itu seperti hujan, Nak. Kita tidak bisa menghentikannya, tapi kita bisa berteduh."Â Â
Tapi berteduh saja tidak cukup. Ketika Rafi menginjak usia 17 tahun, ayahnya meninggal dunia karena kecelakaan di proyek bangunan tempat ia bekerja. Dunia Rafi runtuh. Kini, ia benar-benar sebatang kara. Setelah pemakaman, ia memutuskan meninggalkan desa itu. Tidak ada lagi yang mengikatnya di sana, selain kenangan pahit dan tanah yang sudah diambil orang lain. Â
Kota Metropolis menyambutnya dengan kebisingan dan hiruk-pikuk yang menyesakkan. Dengan hanya membawa satu ransel berisi pakaian dan uang hasil menjual ayam peliharaan terakhir ayahnya, Rafi memulai hidup baru di kota. Ia tinggal di sebuah kamar kos kecil di gang sempit, bersama empat orang lainnya. Pekerjaan pertamanya adalah mencuci piring di warung makan, dengan gaji yang hampir tidak cukup untuk makan dua kali sehari. Â