Malam itu, suara seruling angin mendayu di atas benteng Singhasari. Suara peluit penjaga yang berkeliling menciptakan irama sunyi yang penuh ancaman. Di bawah rembulan yang pucat, seorang pemuda berjubah hitam menyelinap melewati bayangan tembok istana. Ia adalah Raden Wijaya, putra Narasinghamurti, menantu dan keponakan Raja Kertanegara, Raja terakhir Kerajaan Singhasari, yang kini harus melarikan diri dari negerinya sendiri.
Singhasari telah jatuh ke tangan Jayakatwang, adipati Kediri yang memberontak dan merebut takhta. Dalam satu serangan mendadak, pasukan Kediri menyerbu istana dan memaksa Kertanegara kehilangan segalanya—nyawa, kekuasaan, dan kejayaannya. Kini, Raden Wijaya tak punya pilihan selain melarikan diri demi keselamatannya dan harapan membangun kembali kehormatan leluhur.
Di sudut istana yang nyaris hancur, seorang pelayan tua yang setia, Wirangga, menunggu dengan penuh kecemasan. “Raden, cepatlah! Prajurit Jayakatwang sedang menyisir jalan ini!” bisiknya seraya melambai ke arah lorong kecil yang gelap.
Raden Wijaya mendekat dengan langkah ringan, matanya penuh tekad. “Aku tak akan meninggalkan Singhasari begitu saja, Wirangga. Ini tanah leluhurku. Jika aku pergi malam ini, aku akan kembali suatu hari nanti.”
Wirangga menggenggam lengannya. “Raden, kita tak punya waktu untuk janji masa depan. Keselamatan tuanku lebih penting saat ini.”
***
Setelah melalui perjalanan melelahkan melewati hutan-hutan lebat dan sungai yang dingin, Raden Wijaya akhirnya tiba di Madura, meminta perlindungan dari Adipati Arya Wiraraja. Sang adipati, yang dikenal bijaksana dan pandai membaca situasi, menerima Raden Wijaya dengan tangan terbuka.
“Raden,” ujar Arya Wiraraja suatu malam, “bila ingin merebut kembali Singhasari, kau harus pintar menggunakan kekuatan lawan. Sebentar lagi, pasukan Mongol akan tiba untuk menghukum Jayakatwang. Kita bisa memanfaatkan itu.”
Raden Wijaya terdiam sejenak. Rencana Arya Wiraraja sungguh berani, tetapi juga berbahaya. Namun, ia tak punya pilihan lain. Dengan kecerdikan Arya Wiraraja, ia menawarkan kerja sama dengan pasukan Mongol yang dipimpin oleh Shih Pi dan Ike Mese. Mereka menerima tawaran itu, tanpa tahu bahwa Raden Wijaya berniat untuk mengkhianati mereka begitu Jayakatwang dikalahkan.
***
Di tepi Sungai Brantas, perang besar pecah. Pasukan Mongol dan bala tentara Raden Wijaya menyerbu Kediri dengan dahsyat. Bendera Jayakatwang jatuh, dan istananya hancur menjadi abu. Setelah kemenangan itu, Raden Wijaya dengan cerdik memanfaatkan kelemahan pasukan Mongol yang lengah. Ia menyerang mereka dan memaksa mereka mundur dari tanah Jawa.
Setelah kemenangan tersebut, Raden Wijaya kembali ke hutan Tarik, tempat ia mempersiapkan fondasi sebuah kerajaan baru. Di sanalah ia menanam bibit pohon maja, simbol kebangkitan dan ketahanan. Dengan restu dari Arya Wiraraja, ia mendirikan sebuah kerajaan bernama Majapahit.
“Kerajaan ini,” ujar Raden Wijaya kepada para pengikutnya, “akan menjadi simbol dari kebangkitan dan kesetiaan kepada leluhur. Majapahit akan membawa kejayaan lebih besar daripada yang pernah ada sebelumnya.”
Di bawah bayangan pohon maja, Raden Wijaya berdiri tegak, memandang ke cakrawala. Ia tahu perjalanannya belum selesai. Namun, dengan keyakinan dan kecerdasan, ia telah membuktikan bahwa seorang ksatria sejati tidak hanya bertempur dengan pedang, tetapi juga dengan akal dan keberanian.
***
Penutup
Cerita ini mengingatkan kita bahwa kebangkitan sering kali dimulai dari kehancuran. Sebagaimana Raden Wijaya membangun Majapahit dari reruntuhan Singhasari, kita pun dapat bangkit dari segala keterpurukan dengan tekad, keberanian, dan kecerdasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H