Mohon tunggu...
Ahmad Zaini
Ahmad Zaini Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah bekerja untuk keabadian (Pramudya Ananta Toer)

Ahmad Zaini, Lahir di Lamongan, 7 Mei 1976. Karya sastranya baik berupa cerpen maupun puisi pernah dimuat oleh beberapa media massa. Antara lain Kompas.com, okezone.com. Radar Bojonegoro, Radar Banyuwangi, koran harian Duta Masyarakat, majalah MPA (kemenag Jawa Timur), majalah Indupati, Tabloid Maarif Lamongan, Tabloid Lensa Lamongan, Media (PGRI Jawa Timur), Majalah Wanita UMMI Jakarta, dan majalah Kidung (Dewan Kesenian Jawa Timur). Puisi-puisinya terkumpul dalam buku antologi bersama di antaranya Bulan Merayap (DKL,2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa Timur (DKL, 2006), Absurditas Rindu (Sastra Nesia Lamongan, 2006), Sehelai Waktu (Scolar, 2011), Pengembaraan Burung (DKL, 2015), Matahari Cinta Samudra Kata (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2016), Antologi Puisi Penyair Dunia Kopi 1.550 mdpl (Takengon, Aceh, 2016), Mengunyah Geram (Yayasan Manikaya Kauci, YMK, Bali, 2017), Antologi Puisi Nusantara Senyuman Lembah Ijen (Taretan Sedaya Internasional, 2018), Musafir Ilmu (Rumah Seni Asnur, Depok, 2018), Antologi Puisi bersama 1000 guru se-Asean Guru tentang Sebuah Buku dan Rahasia Ilmu (Rumah Seni Asnur, Depok, 2018), dan Ini Hari Sebuah Masjid Tumbuh di Kepala (2018), Serenade Guru Lamongan (PGRI Lamongan, 2018), Tadarus Sang Begawan (Pustaka Ilalang, Juni 2019), GIR, Antologi Puisi Mengenang R. Giryadi (Rumah Budaya Kalimasada, Agustus 2019). Buku kumpulan cerpen tunggalnya berjudul Telaga Lanang (Lima Dua, Gresik, 2012), Lentera Sepanjang Rel Kereta (Pustaka Ilalang, 2014), Titik Nol (Pustaka Ilalang, 2015), serta novel perdananya Mahar Cinta Berair Mata (Pustaka Ilalang, 2017), Tadarus Hujan (Pustaka Ilalang, 2019). Salah satu cerpennya yang berjudul Bayang-Bayang Pernikahan Nggotong Omah meraih juara harapan I pada Sayembara Penulisan Prosa (cerpen) dalam rangka Festival Panji Nusantara 2018. Cerpen-cerpennya juga bisa dibaca dalam antologi cerpen bersama penulis lain. Di antaranya A Moment to Feel (Pustaka Jingga, 2012), Sayap-Sayap Cinta (D3M Kail Tangerang, 2013), Matahari Baru Buat Katro (D3M Kail Tengerang, 2014), , Bukit Kalam (DKL, 2015), Penitis Jiwa (Pena Ananda Indie Publishing, Tulungagung), Surat untuk Calon Guru (PPI Moroko, 2017), dan Bocah Luar Pagar (2018), Serpihan-Serpihan Imajinasi, Antologi Cerpen Guru SMA Jatim (Juli, 2018). Aktivitas sehari-hari seabagai guru di SMKN 1 Lamongan. Saat ini berdomisili di Wanar, Pucuk, Lamongan, Jawa Timur.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Gadis Bengawan Solo

14 Juni 2016   22:00 Diperbarui: 14 Juni 2016   22:21 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Setengah bulan kami tinggal di pengungsian. Setiap malam kami jarang bisa tidur karena harus berperang melawan dingin dan ganasnya sengatan nyamuk. Setiap malam aku begadang dengan pemuda-pemuda yang lain untuk berjaga dari kemungkinan serangan biantang liar atau tangan-tangan jahil yang memanfaatkan kondisi kami.

Tak ketinggalan Ratih. Gadis yang sudah kusunting sebulan lalu, juga rela ikut begadang. Dia rajin menyeduhkan kopi bantuan dari para relawan kepada kami. Gadis lugu yang berpenampilan sederhana meskipun gadis-gadis yang lain di kampung ini berpenampilan serba mentereng ini selalu ikut begadang. Dia sangat setia menemani kami.

“Dik Ratih belum mengantuk?” tanyaku kepadanya.

“Belum, Mas.”

“Tidurlah sana! Temani Bapak dan Ibu yang mungkin juga belum bisa tidur karena menunggumu. Apalagi udara malam tidak baik buat kesehatan.” Aku menasihati Ratih.

Setelah Ratih menyuguhkan secerek kopi buat kami, dia lantas meninggalkan kami yang masih begadang sepanjang malam. Dia masuk ke tenda bersama keluarga dan para warga.

Suasana malam begitu senyap tak ada suara warga yang terdengar dari dalam tenda. Para pengungsi larut dalam lelah. Lelah jiwa dan raga karena sepanjang siang para warga sibuk mengurusi nasib dirinya dan keluarganya.

Menjelang pagi, kokok ayam piaraan warga di tempat pengungsian membangunkan kami. Jernih suaranya bersahutan menyambut fajar yang telah menjingga di ufuk timur. Kami terbangun lantas melihat suasana di sekitar kami masih setengan sepi.

Saat matahari benar-benar telah terbangun dari tidurnya semalam suntuk lalu ia membuka matanya menyinari bumi, kami para pengungsi terjaga sambil mengecek perabot rumah tangga yang berada dalam tenda.

“Bagaimana di tenda sana?” tanyaku kepada rekan yang menjaga tenda sebelah.

“Aman, Mas! Di sini tidak ada masalah,” jawabnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun