Siapa pun mahfum bahwa Jogja adalah sentral bagi budaya Jawa. Bersama-sama dengan Solo, kedua pewaris kraton Mataram ini adalah rujukan bila kita berbicara tentang budaya Jawa. Namun peran ini mungkin akan terasa biasa-biasa saja bila tidak disertai peran-peran lain yang mengikutinya. Jogja adalah juga kota perjuangan yang turut menentukan merah hitamnya republik ini di awal-awal pendiriannya, sebagaimana juga jadi jujugan favorit bagi jutaan pelajar dari seluruh Indonesia untuk menimba ilmu di masa mudanya.
Singkat kata, Jogja adalah kota penuh kenangan bagi banyak orang di negeri ini. Bahkan ada juga anggapan bahwa orang-orang dari luar Jogja yang kemudian tinggal di Jogja, akan merasa enggan kalau harus meninggalkan Jogja. Mereka sudah mengidentifikasi dirinya sebagai warga Jogja, padahal berbahasa Jawa saja mungkin belum lancar benar.
Bagi wong Jawa, mungkin Jogja ibarat Yunani kuno bagi peradaban barat, yang filsafat dan bahasanya menjadi landasan bagi kebangkitan Eropa modern. Hingga berjalan-jalan di Jogja, bagi wong Jawa seperti saya adalah seperti menapaktilasi perjalanan jati diri dan bangsa. Bagaimana tidak? Hampir semua presiden di Negara ini adalah juga wong Jawa, seperti Pak Harto, Gus Dur, Pak Beye, atau Bung Karno dan Pak Habibie yang separuh Jawa. Dalam memimpin pun, karakter mereka sangat njawani, dan sering berperilaku laksana raja Jawa dengan sabda pandhito ratu-nya.
Wong Jawa juga terkenal sebagai kaum yang mudah legawa dan tenggang rasa. Mereka tidak keberatan bahasanya tidak menjadi bahasa nasional, mengalah kapada Bahasa Melayu, yang memang lebih mudah dipelajari dan dikenal luas sejak lama. Karakter-karakter semacam ini yang banyak mewarnai karakter nasional bangsa Indonesia, sangat terasa atmosfernya di Jogja, dengan Kraton dan Sultan sebagai ikonnya. Misalnya saja, kita tak pernah mendengar ada ribut-ribut di Kraton Jogja perihal siapa pengganti Sri Sultan HB IX, yang hingga wafatnya belum mengangkat putra mahkota. Padahal bisa saja masing-masing anaknya saling berebut, seperti yang terjadi di Kraton Solo. Tapi jangan salah, rakyat Jogja juga bukan rakyat yang lemah. Bila kita baca sejarah, Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro ternyata adalah perang terdahsyat dan sekaligus membangkrutkan Belanda, hingga harus merubah strateginya. Pangeran Diponegoro, yang juga putra Sultan HB III, akhirnya harus dibuang ke Manado untuk memadamkan perlawanan.
Keistimewaan Jogja juga tidak lepas dari figur Sri Sultan HB IX. Beliau adalah seorang negarawan yang adiluhung. Sosok anak didikan Belanda ini fasih berbahasa Belanda hingga pidato penobatannnya sebagai raja pun memakai Bahasa Belanda. Namun Belanda benar-benar salah membaca situasi, ternyata beliau adalah seorang nasionalis sejati. Perannya signifikan ikut membidani lahirnya republik ini, tapi tak lantas membuatnya jumawa. Tak pernah beliau berkoar-koar bahwa beliaulah yang berperan utama dalam Serangan Oemoem 1 Maret 1949 misalnya, walaupun banyak sejarawan yang mengakuinya. Atau bagaimana beliau menyediakan Jogja bagi ibukota sementara bagi republik yang masih balita, dan melindungi pemimpin-peminpinnya dari ancaman Belanda dengan kemampuan diplomasi tingkat tingginya dengan Belanda.
Ketika berbicara tentang keistimewaan Jogja, hampir semua pihak sepakat bahwa Jogja memang istimewa. Mungkin hanya segelintir orang yang keblinger dan tidak paham sejarah dan budaya yang akan mempersoalkannya. Dari awal berdirinya negara juga sudah ditekankan bahwa Bhinneka Tunggal Ika bukanlah segedar slogan, tapi adalah semboyan negara.
Selama ini masyarakat Jogja enjoy-enjoy saja dengan keistimewaan gubernurnya yang 'monarkhi' itu. Rakyat kecil bebas mencari nafkah tanpa dibayang-bayangi penggusuran, tanah-tanah milik Kraton dipakai gratis para pemukimnya turun-temurun, selalu welcome dengan para wisatawan local maupun mancanegara, juga pelajar dan mahasiswa yang datang. Apa yang salah dengan keistimewaan selama ini, yang belum tentu bertahan bila pucuk pimpinan dipegang oleh orang lain, yang sering hanya menjadi pemerintahan yang 'high cost' akibat biaya pilkada yang tinggi?
Di negara-negara lain sudah biasa dijumpai adanya daerah-daerah (state) istimewa. Di Filipina ada The Autonomous Region in Muslim Mindanao (ARMM), Quebec di Canada yang berbahasa Perancis, prefecture (semacam provinsi) di Jepang yang digolongkan Ken, To, Fu, atau Do, Central Teritory dan West Teritory di Australia, Hong Kong di China, dan lain-lain. Keistimewaan itu bisa karena jadi ibukota seperti Jakarta, maupun karena faktor sejarah dan sosial budaya masyarakatnya.
Kita juga mengenal raja-raja di negara bagian Malaysia bergantian untuk menduduki kedudukan sebagai raja Malaysia. Sementara di Australia, gubernur jenderalnya sebagai kepala negara adalah subordinate dari Ratu Elizabeth dari Inggris, yang tampak dari bendera Australia yang didalamnya memuat bendera Inggris dalam ukuran kecil.
Dari hubungan pusat-daerah tersebut, tidak ada yang istimewanya seperti Jogja, dimana ada sebuah kerajaan di dalam sebuah republik, yang rajanya otomatis jadi gubernur. Hanya ada di Jogja! Sungguh sebuah kebhinnekaan yang sangat membanggakan, walaupun secara administrasi perlakuannya kalah istimewa dibanding daerah-daerah "istimewa" yang lain, seperti Jakarta, Aceh, dan Papua.
Akhirnya, sulit sekali membayangkan kelak bila jalan-jalan di Jogja ketika keistimewaannya sudah 'dilucuti'. Akan ada perasaan kalah dan dihina walau tetap terpendam dalam diam, terlebih yang mengkomandani adalah juga wong Jawa, dengan latar belakang alasan yang tidak begitu jelas diterima. Sebuah perasaan yang mungkin dirasakan oleh orang-orang Jogja, juga orang-orang Jawa di seluruh Indonesia, dan orang-orang yang telah terikat hatinya dengan Jogja.
Sungguh, kebanyakan mereka hanya akan protes dalam hati. Tapi jumlah mereka tidak sedikit!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H