Mohon tunggu...
Ahmad R Madani
Ahmad R Madani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis lagu, buku, komik, dan skenario film. Alumni ponpes Jombang, Bogor, dan Madinah. Menikah dengan seorang dokter. Menulis fiksi, film, religi, dan kesehatan. Semua akan dijadikan buku. Terima kasih sudah mampir.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Gagal Box Office Malah Jadi Cult Movie Paling Disegani

22 Desember 2024   03:53 Diperbarui: 22 Desember 2024   03:53 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Norton dan Pitt dalam Fight Club (Sumber: https://discover.hubpages.com/entertainment/Why-is-Fight-Club-one-of-the-greatest-movie-ever-made)

Fight Club (1999) adalah sebuah film yang disutradarai oleh David Fincher dan diadaptasi dari novel karya Chuck Palahniuk dengan judul yang sama dan terbit pada tahun 1996. Palahniuk menulis novel ini dengan pengaruh dari pengalaman pribadinya tentang kebosanan dan keputusasaan yang dia rasakan di dunia konsumerisme. Novel ini menciptakan dunia di mana seorang pria yang tidak puas dengan kehidupannya membentuk sebuah klub perkelahian bawah tanah sebagai cara untuk mengatasi tekanan hidup.

David Fincher, yang sebelumnya dikenal dengan film seperti Se7en (1995) dan The Game (1997), bergabung sebagai sutradara film ini. Fincher tertarik pada karya Palahniuk karena karakter-karakter dalam novel tersebut sangat kompleks, dan film ini memberi kesempatan untuk mengeksplorasi tema-tema tentang identitas, kekerasan, dan masyarakat modern.

Fincher dikenal dengan gaya visual yang sangat spesifik, dengan banyak teknik pengambilan gambar yang penuh gaya, seperti penggunaan pencahayaan yang dramatis dan pemotongan cepat. Dalam Fight Club, Fincher menggunakan berbagai teknik pengambilan gambar yang tidak hanya menciptakan ketegangan, tetapi juga memberikan makna simbolik. Misalnya, dia menggunakan banyak pengambilan gambar yang terdistorsi dan mengaburkan visual untuk menggambarkan kerusakan mental yang dialami oleh The Narrator.

Fincher juga dikenal karena melakukan banyak pengambilan gambar ulang (take after take) untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Selama proses syuting, Fincher melakukan 20 hingga 30 pengambilan gambar untuk setiap adegan untuk memastikan bahwa semuanya terasa sempurna. Ini memerlukan banyak ketekunan dari para aktor dan kru, tetapi hasilnya terlihat jelas dalam kualitas film yang sangat terperinci.

Skenario film ditulis oleh Jim Uhls, yang bekerja untuk menerjemahkan novel tersebut menjadi sebuah film yang dapat diterima oleh penonton umum. Uhls dan Fincher memutuskan untuk tetap mempertahankan elemen-elemen penting dari novel, meskipun ada beberapa perubahan untuk menyesuaikan dengan medium film.

Edward Norton memerankan karakter utama, yang dikenal sebagai 'The Narrator' atau 'Jack', seorang pria muda yang terjebak dalam kehidupan monoton dan konsumtif. Karakter ini, yang sering digambarkan tidak puas dengan pekerjaannya dan kehidupan pribadinya, menjadi penghubung utama dalam film ini.

Brad Pitt memerankan karakter yang lebih eksentrik, yaitu Tyler Durden, sosok karismatik yang mengajarkan cara-cara revolusioner untuk menghadapi dunia yang hampa. Tyler adalah karakter yang penuh dengan kekuatan magnetis dan dapat menginspirasi orang-orang di sekitarnya untuk mengubah hidup mereka.

Helena Bonham Carter memerankan Marla Singer, seorang wanita dengan masalah emosional yang menjadi objek ketertarikan dari The Narrator dan Tyler. Perannya memberikan kontras yang penting dalam film, menambah lapisan kerumitan pada cerita.

Sebagian besar film ini mengambil tempat di beberapa lokasi di Los Angeles, dengan beberapa set tambahan yang dibangun untuk menciptakan atmosfer yang diperlukan dalam cerita. Salah satu set utama dalam film adalah apartemen The Narrator yang terletak di sebuah gedung kumuh yang rusak. Ini menggambarkan kehidupan sehari-hari sang karakter utama yang terjebak dalam rutinitas yang tidak memuaskan.

Ruangan yang digunakan sebagai tempat perkelahian bawah tanah di film ini juga sangat ikonik. Para pria yang bergabung dalam Fight Club bertarung satu sama lain dalam lingkungan yang penuh ketegangan. Sejumlah lokasi lain yang menggambarkan dunia yang penuh dengan kerusakan dan kehancuran juga digunakan, seperti pabrik dan fasilitas industri yang memberikan kesan bahwa dunia yang ada dalam film ini adalah dunia yang telah jatuh dalam kekacauan.

Proses syuting Fight Club dimulai pada tahun 1998, dan meskipun anggaran film ini lebih besar daripada beberapa film Fincher sebelumnya, yaitu sekitar $63 juta, film ini tetap berusaha menggunakan gaya yang lebih realistis dan tidak bergantung pada efek visual yang berlebihan. Salah satu penggunaan efek CGI yang paling terkenal adalah adegan penghancuran gedung-gedung, yang dilakukan dengan memanfaatkan efek visual untuk menciptakan kehancuran kota. Efek lainnya seperti darah, ledakan, dan perkelahian dilakukan secara praktis di lokasi syuting.

Musik dalam Fight Club sebagian besar terdiri dari suara elektronik yang keras dan ketukan yang intens. Hal ini mencerminkan dunia modern yang penuh dengan kekosongan dan kegilaan. Suara yang cenderung berat dan mekanistik juga membantu menggambarkan atmosfer yang penuh ketegangan dalam kehidupan The Narrator.

Pada awal perilisannya, Fight Club menerima reaksi beragam dari kritikus. Beberapa menganggap film ini sebagai kekerasan yang tidak perlu dan kontroversial, sementara yang lain memuji film ini sebagai karya yang provokatif dan dalam. Seiring berjalannya waktu, banyak yang menganggapnya sebagai salah satu cult movie paling disegani sepanjang masa.

Meskipun film ini tidak mencapai kesuksesan besar pada box office pada awal perilisannya, Fight Club akhirnya menjadi fenomena budaya dan film yang sangat dihormati. Film ini berhasil meraih kesuksesan di pasar DVD dan streaming, serta menjadi bahan diskusi yang tak pernah usang. Fight Club memberikan pengaruh besar bagi film-film drama thriller dan satire sosial yang lebih gelap dan kontemplatif. Banyak film setelahnya yang mengikuti gaya dan tema film ini, terutama dalam hal penggambaran kekerasan dan kritik sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun