Farid berlari terengah-engah di depan kerumunan warga. Di belakangnya, asap membubung tinggi dan jeritan ketakutan mengisi udara. "Monster naga api membakar rumah-rumah penduduk!" Warga panik, memukul kentongan, berlarian ke sana kemari, berusaha memadamkan kobaran api yang menghanguskan segalanya. Farid, dengan semangat yang tak terpadamkan, berusaha sekuat tenaga mengarahkan aliran air ke titik-titik yang paling terancam.
Di tengah kekacauan itu, Farid melihat anak-anak berlarian, para orang tua terjatuh, dan beberapa tetangga berusaha menyelamatkan barang-barang mereka. Ketika ditanya kemana monster itu pergi, Farid menunjuk ke langit.Â
Minggu berikutnya, Farid berlari ke balai desa, memanggil setiap warga untuk mendengarkan. "Kita harus bersatu! Naga itu datang lagi!" Kejadian seperti minggu sebelumnya terjadi lagi, nyaris serupa. Tapi anehnya tidak ada satu pun saksi mata yang melihat keberadaan monster tersebut, kecuali Farid.
Dengan rasa penasaran yang menggelegak, warga desa memutuskan untuk memburu naga itu. Farid ikut serta bersama mereka. Tapi setiap kali ada jejak mencurigakan, terbukti kemudian kalau itu taka da kaitannya sama sekali dengan monster. Dengan puncak rasa letih dan di penghujung keputusasaan, akhirnya mereka menyerah.Â
"Kita harus menemukan sarangnya," seru Farid, penuh keyakinan. Ia yakin naga itu pasti memiliki tempat persembunyian. Farid lalu menunjuk ke arah hutan. Namun, ketika mereka mencari ke hutan, usaha mereka berakhir tanpa hasil. Jejak naga pun tidak terlihat. Hanya pepohonan yang menjulang tinggi dan semak-semak yang berdesir dihembus angin.
Farid dengan lantang bersuara. "Aku tahu di mana monter naga api itu bersembunyi!" Semua mata tertuju padanya. "Ia tinggal di gua dalam hutan!" Suaranya penuh dengan semangat, meskipun ada keraguan di mata para warga. Mereka lalu memutuskan akan melanjutkan pencarian esok hari.
Keesokan harinya, mereka berkumpul dengan senjata di tangan, keberanian dan ketakutan bercampur dalam diri mereka. Tapi di mana Farid? Batang hidungnya tidak muncul. Mereka berjalan menuju gua, kaget serentak mendengar suara dengkur yang menggema dari dalam! Seiring langkah mereka mendekat, ketegangan semakin meningkat. Di dalam kegelapan gua, tercium aroma bensin yang menyengat, membuat mereka saling memandang dengan gelisah.
Beberapa pemberani menghunus senjata tajam mereka dan melangkah masuk dengan hati-hati. Namun, ketika cahaya dari obor mereka mulai menerangi bagian dalam gua, terkuaklah pemandangan yang tak terduga. Mereka menemukan Farid terbaring di tanah, beralaskan tikar lusuh.
"Farid!" teriak salah satu warga, marah dan bingung. "Apa yang kau lakukan di sini? Di mana monster naga api itu?"
Farid terbangun dan melihat wajah-wajah marah di sekelilingnya. Dengan tenang, ia menjawab, "Sejak rumahku terbakar dan anak istriku tewas, aku tinggal sendirian di sini. Tidak ada satu pun dari kalian yang peduli."
Kata-kata Farid membuat hening. Suaranya yang pelan namun penuh luka itu menyentuh hati mereka. "Akulah yang membakar desa kalian!" lanjutnya. "Hidupku serasa terpasung dalam kegelapan gua, sementara kalian semua mengabaikan kehadiranku. Bahkan untuk makan pun, aku harus mencari di hutan, sementara kalian memandangku seperti monster. Kalianlah monster sebenarnya!"
Warga desa terdiam, merasa terjebak dalam rasa bersalah. Farid, yang pernah menjadi pahlawan di depan mereka, kini menjadi simbol kepedihan yang terabaikan.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya seorang warga, suara gemetar.
Farid mengangkat kepala, matanya yang dulu penuh semangat kini dipenuhi air mata. "Aku hanya ingin dianggap sebagai warga biasa. Sebagai manusia. Seperti dulu. Seperti sebelumnya. Jangan lagi abai padaku. Jangan biarkan diri kita berubah menjadi monster mengerikan!"
Dengan perlahan, para warga mulai mendekat, berusaha merangkul Farid dalam pelukan yang tulus. Mereka mengajaknya kembali ke desa, menyadari bahwa dalam menghadapi monster di luar, mereka juga harus berhadapan dengan monster di dalam hati mereka.
Hari itu, di dalam gua yang seharusnya menjadi tempat persembunyian monster, lahirlah harapan baru. Harapan bahwa saling peduli dan menghargai satu sama lain adalah cara untuk mengalahkan monster yang paling menakutkan---kesepian dan ketidakpedulian.
TAMAT
"Saya tidak bertanya kepada orang yang terluka bagaimana perasaannya, saya sendiri menjadi orang yang terluka." -- Walt Whitman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H