Kata-kata Farid membuat hening. Suaranya yang pelan namun penuh luka itu menyentuh hati mereka. "Akulah yang membakar desa kalian!" lanjutnya. "Hidupku serasa terpasung dalam kegelapan gua, sementara kalian semua mengabaikan kehadiranku. Bahkan untuk makan pun, aku harus mencari di hutan, sementara kalian memandangku seperti monster. Kalianlah monster sebenarnya!"
Warga desa terdiam, merasa terjebak dalam rasa bersalah. Farid, yang pernah menjadi pahlawan di depan mereka, kini menjadi simbol kepedihan yang terabaikan.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya seorang warga, suara gemetar.
Farid mengangkat kepala, matanya yang dulu penuh semangat kini dipenuhi air mata. "Aku hanya ingin dianggap sebagai warga biasa. Sebagai manusia. Seperti dulu. Seperti sebelumnya. Jangan lagi abai padaku. Jangan biarkan diri kita berubah menjadi monster mengerikan!"
Dengan perlahan, para warga mulai mendekat, berusaha merangkul Farid dalam pelukan yang tulus. Mereka mengajaknya kembali ke desa, menyadari bahwa dalam menghadapi monster di luar, mereka juga harus berhadapan dengan monster di dalam hati mereka.
Hari itu, di dalam gua yang seharusnya menjadi tempat persembunyian monster, lahirlah harapan baru. Harapan bahwa saling peduli dan menghargai satu sama lain adalah cara untuk mengalahkan monster yang paling menakutkan---kesepian dan ketidakpedulian.
TAMAT
"Saya tidak bertanya kepada orang yang terluka bagaimana perasaannya, saya sendiri menjadi orang yang terluka." -- Walt Whitman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H