Mohon tunggu...
Ahmad R Madani
Ahmad R Madani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis lagu, buku, komik, dan skenario film. Alumni ponpes Jombang, Bogor, dan Madinah. Menikah dengan seorang dokter. Setelah menulis cerpen dan film di Kompasiana (akan dibukukan), sekarang menulis tema religi dan kesehatan. Terima kasih sudah mampir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bayang-Bayang Kerinduan

3 Oktober 2024   12:54 Diperbarui: 3 Oktober 2024   22:57 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.freepik.com/free-photo/medium-shot-man-creating-van-gogh-s-characterization

Rian terbangun di pagi yang sunyi, merasakan dunia dalam kegelapan. Semenjak kecelakaan itu, cahaya tak lagi menyapa matanya. Dia, seorang seniman yang pernah melukis dengan warna-warna cerah, kini terjebak dalam bayang-bayang. Setiap goresan kuasnya tak lagi mengungkapkan keindahan yang pernah dia lihat; semuanya terasa hampa.

Hari-harinya diisi dengan suara. Suara angin yang berdesir, suara tetesan air, dan suara yang paling dirindukannya---suara Ayu. Tanpa melihatnya, Rian merasakan kehadirannya. Dalam kegelapan, Ayu menjadi cahaya yang menerangi jalan hidupnya.

"Ayu," panggil Rian, suaranya penuh kerinduan. "Apa kamu bisa datang?"

"Selalu, Rian," jawab Ayu lembut. Suara itu membawa ketenangan, seolah membungkusnya dalam pelukan hangat. "Hari ini, aku akan membacakan puisi untukmu."

Setiap kali Ayu datang, dia membawa serta sebuah puisi yang ditulisnya. Kata-kata itu seakan melukis dunia di hadapan Rian, menggantikan warna yang telah hilang. Rian menutup matanya, membiarkan imajinasinya melambung, menciptakan gambaran-gambaran yang indah dari deskripsi Ayu.

"Di taman, ada bunga-bunga yang mekar. Mereka menari di bawah sinar matahari," kata Ayu, suaranya bergetar penuh emosi. "Mereka berwarna merah, kuning, dan ungu."

Rian tersenyum, membayangkan keindahan yang diceritakan Ayu. Dalam pikiran dan hati, dia masih bisa merasakan keindahan itu. Namun, ada saat-saat ketika rasa putus asa melanda. Dia merasa terasing dari dunia yang pernah dia cintai, dan yang paling menyakitkan, terasing dari Ayu.

"Ayu, aku tidak tahu berapa lama aku bisa bertahan seperti ini," ucapnya suatu hari, suaranya serak.

"Rian, ingatlah, keindahan tidak selalu terlihat dengan mata. Terkadang, kita harus merasakannya," balas Ayu. Kata-katanya menembus dinding kesedihan yang dibangunnya.

Dalam perjalanan waktu, hubungan mereka semakin dalam. Rian belajar mendengarkan setiap detail tentang dunia dari Ayu---dari bagaimana langit berubah warna saat senja, hingga bagaimana angin membawa aroma segar dari laut. Meskipun Rian tak bisa melihat, Ayu membantu dia menemukan kembali keindahan yang lebih dalam daripada sekadar visual.

Suatu sore, ketika Ayu membacakan puisi tentang hujan, Rian merasakan dorongan untuk menyentuh dunia. "Ayu, bisa tidak aku merasakan hujan?" pintanya dengan penuh harapan.

Ayu tersenyum. "Tentu, Rian. Ayo keluar."

Ketika mereka melangkah keluar, Rian merasakan tetesan air di wajahnya. Hujan yang lembut mengusap kulitnya, dan dalam setiap tetes, dia merasakan kebebasan. Dia tertawa, suara riangnya seolah menggema di antara riuhnya hujan. Ayu mengenggam tangannya, dan di sana, Rian menemukan kenyamanan.

"Ini luar biasa," katanya, merasakan setiap detak air. "Aku merasa seperti bisa melihat."

Ayu tertawa, hatinya bergetar. "Kamu tidak harus melihat untuk merasakan, Rian. Kamu adalah seniman, dan senimu kini berbicara lebih dari yang pernah kamu lukis."

Hari demi hari, Rian semakin kuat. Dia mulai mengeksplorasi seni dengan cara baru. Dengan bantuan Ayu, dia menyentuh kanvas, merasakan bentuk dan tekstur, dan mendengarkan dunia di sekelilingnya. Setiap goresan kuasnya kini memiliki makna, bukan hanya sekadar warna, tetapi emosi dan pengalaman yang mengalir dari hati.

Hari pameran tiba. Rian berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh orang-orang yang mengagumi lukisannya. Namun, saat pameran berlanjut, Rian menyadari bahwa dia tidak merasakan Ayu di mana pun. Suara-suara pengunjung mengelilinginya, tetapi dia merindukan kehadiran suara Ayu yang biasa menemaninya. Dia berusaha mencari-cari, jantungnya berdebar tak karuan.

Dalam kebingungan, Rian mulai bertanya pada pengunjung, "Apakah kalian melihat seorang wanita bernama Ayu?"

Mereka menatapnya dengan bingung, tidak mengenal siapa pun dengan nama itu.

Kepanikan melanda. Dia mencoba mengingat setiap detil, tetapi semuanya mulai memudar. Tapi saat dia menggenggam kuas, tiba-tiba ingatan menyergapnya. Tidak pernah ada orang lain yang melihat Ayu, tidak pernah ada foto atau kenangan bersama yang ditinggalkan.

Ayu adalah manifestasi dari harapan dan cinta yang dia ciptakan dalam pikirannya, sosok yang hadir dalam kegelapan untuk memberinya arti. Dalam ketidakmampuannya melihat, dia menciptakan dunia di mana Ayu ada, mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh kehilangan.

Rian tersentak. Semua keindahan yang dia temukan selama ini adalah bagian dari dirinya sendiri, dan Ayu hanyalah bayang-bayang dari kerinduan yang tidak terjawab.

TAMAT

"Jika seniman memiliki mata luar dan dalam untuk alam, alam menghadiahinya dengan memberinya inspirasi." --  Wassily Kandinsky

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun