Mohon tunggu...
Ahmad R Madani
Ahmad R Madani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis lagu, buku, komik, dan skenario film. Alumni ponpes Jombang, Bogor, dan Madinah. Menikah dengan seorang dokter. Menulis fiksi, film, religi, dan kesehatan. Semua akan dijadikan buku. Terima kasih sudah mampir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mandi Hujan

30 September 2024   17:08 Diperbarui: 30 September 2024   17:12 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan sore itu turun deras, mengubah jalanan kota menjadi lautan air. Hakim, pulang kerja dengan motor tua yang sudah setia menemaninya bertahun-tahun, merasakan betapa dinginnya angin menyentuh kulitnya. Dia menggenggam setang motor, berusaha melewati genangan yang semakin dalam. Tiba-tiba, mesin motornya mengeluarkan suara bergetar, lalu mati. Hakim menendang tanah dengan frustrasi.

"Bagaimana bisa pas hujan begini?" gerutunya, menatap langit yang kelam. Dia merasa semua kesal dan penat setelah seharian bekerja menumpuk.

Saat dia duduk di pinggir jalan, merenungkan langkah selanjutnya, suara tawa anak-anak menyita perhatiannya. Di tengah hujan, sekelompok anak kecil berlarian, melompat-lompat dengan sukacita, menyentuh air yang menggenang. Salah satu dari mereka, dengan rambut keriting yang basah, menghampirinya.

"Bang, mau ikut mandi hujan?" tanya anak itu dengan ceria. "Ayo, seru!"

Hakim memandangnya, tertegun. Dia mengenali wajah itu---Mono, teman masa kecilnya. "Mono? Kamu...?"

"Ya, aku Mono!" jawabnya, penuh semangat. "Lihat yang lain, mereka juga ada!"

Hakim menatap sekeliling dan mendapati wajah-wajah familiar. Mereka semua adalah teman-teman masa kecilnya. Senyum mereka mengingatkan Hakim pada kenangan indah yang telah lama dia lupakan. Namun, di tengah keraguan, dia bertanya, "Tapi, bagaimana bisa kalian ada di sini? Ini tidak mungkin."

"Kenangan tidak pernah hilang, Kim," Mono menjawab sambil melompat di genangan air. "Kami selalu ada di sini, menunggu kamu."

Hakim merasa otaknya dipenuhi dengan kebingungan. Apakah ini ilusi? Ataukah dia hanya lelah dan mengantuk? Dia menatap mereka lebih dalam, melihat kilau kegembiraan di mata mereka. Dalam sekejap, segala rasa kesal, penat, dan beban hidupnya mulai menguap.

"Yuk, ikut!" Mono menyeret tangan Hakim, menariknya ke tengah genangan. Hakim terperangah, tapi tanpa pikir panjang, dia merasakan dorongan dari dalam dirinya untuk ikut. Dia tak lagi ingin menolak.

Ketika dia melangkah ke dalam air, dingin hujan yang membasahi tubuhnya seolah menghapus semua masalah yang menghantuinya. Dia tertawa, merasakan kegembiraan yang sudah lama hilang. Mereka semua berlari, melompat, dan menari di tengah hujan. Seperti saat mereka masih kecil, tanpa beban dan tanggung jawab.

"Lihat! Ini dia permainan favorit kita!" Mono berteriak sambil melemparkan air ke arah Hakim. Dia membalas dengan menendang air, dan dalam sekejap, semua terlibat dalam pertempuran air yang penuh tawa.

Setiap tawa dan canda mengingatkan Hakim akan saat-saat bahagia yang selalu dia rindukan. Dia merindukan kebersamaan, kehangatan, dan kesederhanaan masa kecil yang penuh keceriaan. Hakim menyadari, hidupnya kini terlalu dipenuhi dengan tekanan dan ambisi yang kadang membuatnya lupa akan makna kebahagiaan sederhana.

Hujan mulai reda, rintik-rintik air turun dengan lembut. Dia berdiri di tengah genangan, berusaha mengingat setiap wajah, setiap momen. Namun, saat dia melihat ke arah teman-temannya, wajah mereka mulai memudar, seperti bayangan dalam kabut.

"Eh, kalian mau kemana?" Hakim bertanya, panik. "Jangan pergi! Ayo kita main lagi!"

"Ini saatnya kami pulang, Kim," Mono berkata dengan suara lembut, meski masih tersenyum. "Kami hanya datang untuk mengingatkanmu. Bahwa kebahagiaan itu sederhana, dan tak pernah jauh."

Satu per satu, mereka melambaikan tangan. Hakim merasakan sesuatu di dadanya; campuran rasa kehilangan dan harapan. Mereka menghilang, seolah ditelan bumi, dan dalam sekejap, hanya suara hujan yang tersisa.

Hakim berdiri sendiri, merasakan air hujan yang mengalir di wajahnya. Kenangan indah itu terpatri dalam pikirannya. Perlahan, dia berbalik menuju motornya, merasa lebih ringan. Saat dia mencoba menyalakan mesin motor, suara menderu kembali mengisi udara.

"Ya Tuhan, berhasil!" Hakim berseru, dan senyum lebar merekah di wajahnya. Dia mengendarai motor pulang dengan perasaan yang berbeda---bahagia, bebas, dan penuh harapan.

Hujan telah reda, tetapi di hatinya, canda tawa teman-teman masa kecilnya tetap terukir. Hakim pulang, tak hanya membawa kenangan, tetapi juga pelajaran: bahwa kebahagiaan sejati selalu bisa ditemukan, bahkan di tengah hujan sekalipun.

TAMAT

"Hitunglah umurmu dengan teman, bukan tahun. Hitunglah hidupmu dengan senyum, bukan air mata." - John Lennon

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun