Setelah pertunjukan itu, ia pergi ke dokter. Semua tes menunjukkan hasil normal. "Kau sehat, Prisca," kata dokter dengan penuh kepastian. Namun, hati Prisca dipenuhi kebingungan. Kenapa suara ini tidak mau keluar saat yang paling penting?
Malam itu, saat ia berjalan pulang, Prisca menyaksikan sebuah insiden yang menghentikan langkahnya. Di sudut jalan, sekelompok orang berusaha membantu seorang pria tua yang disakiti oleh segerombolan pemuda.Â
Rasa takut dan bingung menyelimuti dirinya. Tanpa berpikir panjang, ia mendekat dan berusaha berteriak. Namun, suaranya tetap hilang.
Saat itu, sesuatu dalam dirinya mulai berubah. Rasa marah dan ketidakadilan membakar semangatnya. Prisca merasa, di dalam lubuk hatinya, suara yang selama ini terpendam mulai bangkit.Â
Dengan keberanian yang baru, ia mendekati kerumunan. Melihat wajah-wajah yang tertegun, Prisca mengumpulkan seluruh tenaganya.
"Hentikan!" teriaknya, dan keajaiban pun terjadi. Suaranya kembali, mengalir deras, lebih kuat dari sebelumnya. Semua orang menoleh ke arahnya, terpesona oleh keberaniannya.
Sejak malam itu, Prisca menyadari satu hal: suaranya tidak hanya miliknya. Suaranya adalah alat untuk menyuarakan kebenaran. Di panggung-panggung berikutnya, ia tidak lagi hanya bernyanyi.Â
Setiap pertunjukan, ia menambahkan sebuah pesan tentang keadilan dan kesetaraan. Ketika ia berbicara tentang kezaliman, penontonnya tidak hanya mendengarkan, tetapi juga bergerak, terinspirasi untuk ikut berjuang.
Kariernya yang sempat meredup mulai bersinar kembali, bahkan jauh lebih cemerlang. Lagu-lagunya menjadi anthem bagi mereka yang terpinggirkan.Â
Suaranya tidak hanya menyentuh hati, tetapi juga menggerakkan jiwa. Dari panggung ke panggung, ia mengingatkan semua orang untuk tidak bungkam saat melihat ketidakadilan.
Suatu ketika, saat konser amal untuk korban kekerasan, Prisca berbicara tentang pengalamannya.Â