Mohon tunggu...
Ahmad R Madani
Ahmad R Madani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis lagu, buku, komik, dan skenario film. Alumni ponpes Jombang, Bogor, dan Madinah. Menikah dengan seorang dokter. Menulis fiksi, film, religi, dan kesehatan. Semua akan dijadikan buku. Terima kasih sudah mampir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sore di Stasiun Kereta

28 September 2024   17:47 Diperbarui: 28 September 2024   17:49 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap sore, di stasiun kereta yang ramai, ada sosok tua yang selalu duduk di bangku kayu dekat peron. Hani, nenek berkerudung putih, menatap jauh ke arah rel kereta, seolah menunggu sesuatu yang pasti. Banyak orang yang melewati, memandangnya dengan rasa penasaran. Terkadang, ada yang berani menghampiri, menanyakan alasannya.

Hani hanya tersenyum lembut dan menjawab, "Saya menunggu suami saya. Dia pergi 30 tahun lalu untuk bekerja, dan berjanji akan pulang seminggu lagi. Sejak itu, tak pernah ada kabar."

Mendengar jawaban itu, orang-orang biasanya terdiam. Raut wajah mereka campur aduk; ada rasa iba, takjub, dan bahkan skeptis. Namun, Hani tak pernah marah. Bagi Hani, menunggu adalah bentuk cinta yang tulus, meskipun waktu telah mengikis harapannya.

Sebelum suaminya pergi ke luar kota, hubungan mereka adalah kisah cinta yang penuh keindahan dan kehangatan. Mereka sering menghabiskan waktu di kebun kecil di belakang rumah, berbagi tawa sambil menanam bunga-bunga yang Hani cintai. Rizki, dengan senyum menawannya, sering membisikkan kata-kata cinta, membuat Hani merasa seperti satu-satunya wanita di dunia.

Pada sore yang cerah, 30 tahun lalu, mereka berjalan berdua menuju stasiun kereta, tangan bergandeng erat. Rizki selalu membuat Hani merasa istimewa, membawakan bunga setiap kali mereka bertemu. "Aku akan pulang dalam seminggu, sayang," ucap Rizki saat mereka berpisah, matanya penuh harapan. "Tunggu aku di sini, sore di stasiun, dan kita akan melanjutkan cerita kita."

Hani mengangguk dengan penuh keyakinan, menyimpan janji itu dalam hati. Setiap momen bersama terasa berharga, dan dalam pelukan hangatnya, Hani merasakan cinta yang abadi. Janji Rizki menjadi bintang penuntun dalam hidupnya, meski saat itu mereka tak tahu betapa lamanya waktu akan terentang.

Sejak itu, setiap hari, Hani membawa seikat bunga segar yang ia petik dari kebun kecil di belakang rumah. Ia mengatur bunga-bunga itu dalam vas kecil, simbol harapan dan ingatan yang tak pernah pudar. "Dia suka bunga ini," ucap Hani kepada siapa pun yang mau mendengar, "Waktu itu, dia bilang, 'Hani, setiap kali kau melihat bunga ini, ingatlah aku.'"

Musim demi musim berlalu, dan Hani tetap setia menunggu. Dia mengenakan gaun sederhana yang mulai pudar, rambutnya pun memutih, tetapi hatinya tetap berapi-api. Setiap kereta yang tiba dan berangkat adalah kesempatan baru, meski sudah bertahun-tahun ia tahu bahwa harapan itu mungkin hanya ilusi.

Pada suatu sore yang mendung, seorang pemuda mendekatinya. "Nenek, apa tidak pernah merasa lelah menunggu?" tanyanya, suara penuh rasa ingin tahu.

Hani menoleh, matanya yang berkilau seolah menantang. "Kelelahan bukanlah pilihan bagi cinta yang sejati. Janji itu seperti bintang; meski jauh, kita harus percaya bahwa ia masih bersinar."

Pemuda itu terdiam. Dalam kesunyian itu, Hani melanjutkan, "Aku tidak hanya menunggu suamiku; aku menunggu kenangan kami, cinta yang kami bangun bersama, dan harapan bahwa suatu saat, dia akan kembali."

Mendengar itu, pemuda itu mulai memahami. Ia menyadari betapa dalamnya perasaan Hani, betapa kekuatan cinta bisa mengalahkan waktu dan kesedihan. Hani tak hanya menunggu suaminya; ia juga menjaga setiap momen berharga yang mereka lalui.

Hari-hari berlalu, dan peron itu terus dipenuhi orang-orang yang datang dan pergi. Namun, Hani selalu di sana, seperti tiang penyangga di tengah arus kehidupan yang terus berputar. Suatu hari, sekelompok anak-anak berlari dan menghampirinya, tertawa riang. Mereka memandang bunga-bunga di vasnya dan bertanya, "Nenek, untuk siapa bunga ini?"

Hani tersenyum. "Untuk suamiku, yang kini ada di dalam hatiku. Setiap bunga ini mewakili kenangan kami. Setiap kelopak adalah cerita yang tak akan pernah pudar."

Anak-anak itu terpukau, mengangguk-angguk. Hani menjadi pengingat bahwa cinta tidak mengenal waktu. Dalam keheningan sore, suara kereta yang mendekat membawa kembali ingatan masa lalu. Hani menatap rel, dan seolah mendengar suaminya memanggil namanya.

Malam pun datang, menutup hari dengan damai. Hani bangkit dari bangku, meninggalkan vas bunga yang kini kosong. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa cinta sejatinya akan selalu hidup, tak peduli seberapa jauh. Dia berjalan perlahan menuju rumah, berharap besok adalah hari yang berbeda. Suatu saat, suaminya pasti akan pulang.

Ketika kereta terakhir melintas, bayangan Hani berdiri di peron, menjadi bagian dari cerita abadi yang takkan pernah pudar. Dia adalah simbol harapan, cinta yang tak tergoyahkan, dan kekuatan untuk tetap percaya. Setiap sore, Hani akan terus menunggu, tak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan. Baginya, menunggu adalah perjalanan cinta yang paling indah.

TAMAT

"Kesetiaan adalah ketika cinta lebih kuat dari naluri."- Paul Carvel

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun