Mohon tunggu...
Ahmad R Madani
Ahmad R Madani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis lagu, buku, komik, dan skenario film. Nominator AMI Awards 2015. 3 bukunya terbit di Gramedia. Penulis cerita di comicone.id. Sudah menulis 3 skenario film. Tumbal: The Ritual (2018), Jin Khodam (2023), Kamu Harus Mati (coming soon).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Suara yang Terperangkap

28 September 2024   06:19 Diperbarui: 28 September 2024   06:25 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.freepik.com/premium-ai-image/family-sits-couch-reads-book-with-dog

Gisel berdiri di depan rumah tua itu, menatap jendela-jendela yang retak dan pintu yang terkatup rapat. Kasus pembunuhan satu keluarga di sini telah menjadi misteri yang mengguncang kota kecilnya. Tidak ada saksi, tidak ada petunjuk, hanya keheningan yang menggantung, penuh rasa duka.

Ia melangkah memasuki rumah, aroma debu dan kerusakan menyambutnya. Dinding-dinding berlumut seolah menyimpan cerita kelam, dan Gisel merasa getaran aneh menyusup ke dalam jiwanya. Dia tidak sendirian. Dengan setiap langkah, ia bisa merasakan kehadiran para korban, seolah mereka memanggilnya.

Tiba di ruang tamu, ia berhenti. Suara lembut bergema di telinganya, hampir tak terdeteksi. "Ibu, tolong jangan pergi..." suara anak perempuan terdengar, penuh harapan. Gisel menoleh, namun tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya bayangan masa lalu yang melintas di benaknya.

Ia melangkah lebih jauh, menuju dapur. Suara bergumam semakin jelas. "Ayah, apa yang terjadi?" suara anak laki-laki itu menembus kesunyian, penuh kepanikan. Gisel merasakan jantungnya berdegup kencang. Di sini, di tempat yang dulunya dipenuhi tawa, kini hanya ada kesedihan.

"Ini tidak mungkin," gumamnya. Dia mencoba berfokus, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini. Dinding-dinding tampak berbicara, memantulkan suara yang tak bisa didengar orang lain. Setiap ruangan seolah menyimpan potongan-potongan kisah tragis yang pernah terjadi.

Di ruang keluarga, Gisel merasa sesak. "Ibu, kami di sini," suara lembut yang familiar itu memanggil. Sekali lagi, Gisel menoleh, berharap melihat sosok yang hilang. Dia merasakan air mata menggenang di matanya. Suara-suara itu mengisi kekosongan, menggambarkan kehidupan yang pernah ada.

Dalam pikiran Gisel, puzzle mulai terbentuk. Dia mengingat petunjuk yang didapat dari penyelidikan sebelumnya---hubungan yang rumit di antara keluarga tersebut, pertikaian internal, dan ketegangan yang tersembunyi. Ada satu sosok yang mencuat: pamannya, yang dikenal temperamental dan cemburu.

"Bukan hanya pembunuhan..." Gisel berbisik pada dirinya sendiri. "Ini adalah balas dendam." Dia bisa mendengar suara-suara itu saling berdebat, terjebak dalam waktu yang tak pernah bergerak. Dalam kekacauan ini, dia menemukan petunjuk yang hilang. Kesedihan, kemarahan, dan penyesalan saling berbaur.

Gisel melangkah menuju tangga, suaranya memecah keheningan. "Kami ingin kamu tahu..." suara ibunya bergetar, membawanya ke memori masa lalu. Dia ingat betapa hangatnya rumah itu dulu, saat tawa mengisi setiap sudutnya. Kenangan itu terputus oleh kebisuan yang menyakitkan.

Di atas, dia menuju kamar tidur. Suara-suara semakin ramai, berdesakan seakan ingin bercerita. "Jangan dengarkan dia!" suara sang ayah menggema, marah dan melindungi. Gisel merasakan tekanan di dadanya; seolah-olah dia sedang berada di tengah badai emosi.

Tiba-tiba, dia menyadari: pelaku bukan hanya seorang pembunuh, tetapi juga orang yang berjuang melawan kebencian dan rasa sakit. "Mereka tidak mati sia-sia," dia berkata pada suara-suara itu. "Saya akan membawa kebenaran kepada dunia."

Dengan keberanian baru, Gisel menelusuri setiap sudut kamar. Di atas meja, dia menemukan sebuah buku catatan. Seakan dipenuhi rahasia, buku itu berisi tulisan tangan sang ayah---catatan harian yang mencerminkan ketegangan dalam keluarga. "Dia tidak boleh tahu," tulisnya tentang pamannya. "Saya harus melindungi mereka."

Gisel merasa jantungnya bergetar. Dengan catatan ini, dia bisa membuka jalan menuju kebenaran. Suara-suara kembali berbisik, memberikan dorongan terakhir. "Kamu bisa melakukannya," mereka berkata, seakan menjadi penguat semangatnya.

Setelah mengumpulkan bukti, Gisel turun kembali ke ruang tamu. Suara-suara mulai memudar, tetapi bayangan mereka masih menghantui langkahnya. "Terima kasih," ia berbisik. "Saya akan membuat semua ini terungkap."

Setelah beberapa hari penyelidikan lebih lanjut, Gisel akhirnya menemukan keberanian untuk melaporkan semuanya. Dengan catatan ayah dan bukti yang dia kumpulkan, polisi berhasil menangkap paman yang menjadi pelaku. Dia adalah sosok yang selama ini terabaikan, terjebak dalam kemarahan dan dendam yang menggerogoti jiwanya.

Ketika kasus ini terungkap, Gisel kembali ke rumah itu. Sekarang sepi, tetapi tidak kosong. Dia merasakan kehadiran para korban, seolah mereka memberikan restu. Suara mereka kini tenang, dan Gisel merasa beban di pundaknya mulai menghilang.

Mereka mungkin telah pergi, tetapi kisah mereka tidak akan terlupakan. Dengan langkah mantap, Gisel meninggalkan rumah itu, bertekad untuk terus mencari kebenaran demi mereka yang tak bisa berbicara lagi.

TAMAT

"Bayangkan ketika kamu kembali bersatu dengan keluargamu di surga. Itulah definisi sebuah kesuksesan." - Dr. Bilal Philips

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun