Mohon tunggu...
Ahmad R Madani
Ahmad R Madani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis lagu, buku, komik, dan skenario film. Alumni ponpes Jombang, Bogor, dan Madinah. Menikah dengan seorang dokter. Menulis fiksi, film, religi, dan kesehatan. Semua akan dijadikan buku. Terima kasih sudah mampir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sang Pemahat

24 September 2024   11:47 Diperbarui: 24 September 2024   12:00 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gusti adalah seorang pemahat tersohor, dikenal karena karya-karyanya yang menakjubkan. Ia menyimpan cinta yang dalam untuk istrinya, Egia. Keduanya saling mendukung dalam setiap langkah, menjadikan cinta mereka sebagai sumber inspirasi yang tak terputus.

Hari-hari mereka dipenuhi dengan tawa dan kasih sayang. Mereka sering menghabiskan waktu di taman, di mana Gusti mengukir kayu sementara Egia bercerita tentang mimpinya. Suatu sore, saat matahari terbenam, Egia meminta Gusti untuk mengukirkan patung kecil mereka berdua. "Agar kita bisa selalu bersama," katanya dengan senyuman. Gusti pun melakukannya, menciptakan karya yang penuh dengan kehangatan dan cinta.

Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Suatu hari, Egia jatuh sakit. Gusti merawatnya dengan sepenuh hati, tetapi takdir berkata lain. Egia berpulang, meninggalkan Gusti dalam duka yang mendalam.

Setelah kepergian Egia, rumah yang dulunya hangat kini terasa kosong dan sunyi. Dalam kesedihannya, Gusti memutuskan untuk menciptakan patung yang menyerupai istrinya. Ia bekerja tanpa henti, mengukir setiap detail wajah dan tubuh Egia dengan penuh cinta. Ketika patung itu selesai, Gusti merasa seolah Egia hadir kembali di sampingnya.

Hari demi hari, Gusti memperlakukan patung itu seperti istrinya. Ia berbicara padanya, mengingatkan semua kenangan indah yang mereka lalui. Ajaibnya, setiap kali Gusti pulang ke rumah, tempat itu selalu rapi dan bersih, meskipun tidak ada yang mengurus. Ia mulai penasaran, apakah ada yang datang saat ia pergi?

Satu malam, Gusti memasang CCTV di rumah, berharap bisa menemukan jawabannya. Ketika menonton rekaman, ia terperangah. Di layar, patung itu bergerak! Seolah hidup, patung itu merapikan rumah, menyapu lantai, dan menata barang-barang. Gusti merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dengan bergetar, ia segera pergi ke kantor polisi.

"Lihat ini!" katanya, memperlihatkan rekaman CCTV kepada polisi. Namun, saat mereka memutar video, tidak ada apa-apa. Hanya gambar kosong, seolah tak pernah ada yang terjadi. Para polisi memandang Gusti dengan skeptis.

"Mungkin Anda butuh istirahat, Pak," saran seorang polisi, menepuk bahunya. Gusti merasa panik. Apakah ia mulai hilang akal? Mungkin duka ini membuatnya gila.

Kembali ke rumah, Gusti melihat patung itu duduk di sudut, seperti biasa. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Patung itu menatapnya, dan seolah dengan suara lembut, ia mulai berbicara. "Gusti, aku di sini. Kamu tidak perlu takut."

Jantung Gusti berdebar kencang. "Egia?" tanyanya, sulit percaya. Patung itu mengangguk, senyum lembut menghiasi wajahnya. "Tapi... bagaimana bisa?"

"Aku adalah bagian dari cinta dan ingatanmu," jawab patung itu. "Namun, kau harus merelakanku. Hidupmu tidak boleh terhenti di sini."

Gusti merasa terombang-ambing. Sebuah perasaan hangat menyelimuti hatinya, namun di sisi lain, rasa sakit dan kehilangan terus menghantui. "Aku tidak bisa... tanpa kamu, aku... aku hancur."

"Tidak, Gusti. Kenangan kita akan selalu ada, tapi hidupmu harus terus berjalan. Merelakan bukan berarti melupakan."

Dengan air mata menggenang, Gusti menatap patung itu, menyadari betapa benar kata-katanya. Ia mengangguk, berusaha merelakan kepergian Egia. Namun, saat anggukan itu keluar dari mulutnya, sesuatu yang aneh terjadi. Patung yang dulunya begitu sempurna mulai retak, garis-garis halus muncul di permukaannya, lalu dengan suara gemuruh, patung itu hancur menjadi serpihan.

Gusti terjatuh, terisak melihat bagian-bagian kecil itu berserakan di lantai. Namun di balik kepingan kayu yang hancur, ia merasakan sebuah kelegaan. Mungkin dengan merelakan, ia dapat melanjutkan hidupnya.

Di tengah keheningan, ia mendengar bisikan lembut yang seolah datang dari angin. "Selamat tinggal, Gusti. Ingatlah, cintaku akan selalu bersamamu."

Gusti menatap sisa-sisa patung itu, menyadari bahwa meski fisik Egia telah hilang, cinta mereka tetap hidup dalam ingatannya. Dengan perasaan campur aduk, ia mengumpulkan serpihan-serpihan itu, berjanji untuk menyimpan kenangan mereka dengan baik. Kini, ia siap untuk memulai hidup baru, membawa cinta Egia dalam hatinya selamanya.

TAMAT

"Seseorang tak akan pernah tahu betapa dalam kadar cintanya sampai terjadi sebuah perpisahan." - Kahlil Gibran

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun