Aril adalah anak yang selalu merasa terasing. Di sekolah, namanya tak lebih dari lelucon; di antara tawa anak-anak lain, ia adalah target empuk bagi bully. Setiap ejekan seakan menusuk jantungnya, menjadikannya semakin pengecut. Suatu hari, setelah serangkaian hinaan, Aril memutuskan untuk menyepi ke bioskop, mencari pelarian dari dunia yang selalu menyudutkannya.
Film yang dipilihnya adalah film perang, penuh ledakan dan heroisme. Aril terpesona. Ketika layar menceritakan keberanian para prajurit, ia membayangkan dirinya menjadi salah satu dari mereka, berjuang demi kebenaran. Namun, saat suasana mencapai puncak, tiba-tiba sebuah granat meluncur keluar dari layar dan jatuh tepat di kakinya. Dalam detik-detik yang membingungkan, ledakan mengguncang bioskop, dan Aril terlempar ke dalam kegelapan.
Ketika asap menghilang, Aril mendapati dirinya berada di medan perang yang nyata. Suara tembakan dan teriakan mengisi udara, membangunkan naluri bertahannya. Di depan matanya, jagoan film yang selalu ia kagumi memanggilnya. "Bergabunglah, kita butuh keberanianmu!" teriaknya, matanya berapi-api.
Aril berdiri di tengah medan perang yang mengguntur, terpesona dan cemas. Debu berterbangan di udara, membaur dengan aroma besi dan asap, menciptakan suasana yang penuh ketegangan. Di sampingnya, sang jagoan---pria berotot dengan tatapan tajam---berteriak memerintahkan pasukan untuk maju.
"Keberanian ada di dalam dirimu, Aril!" suara jagoan itu menggema, memberikan semangat. Aril merasakan getaran di dalam dadanya, seperti api yang dinyalakan. Dalam sekejap, ia mengangkat senjatanya, meskipun tangan kecilnya sedikit bergetar. Rasa takutnya tak bisa sepenuhnya hilang, namun sesuatu yang lebih besar menggerakkan langkahnya.
Saat peluru berdesing di sekitar mereka, Aril merasakan detak jantungnya berpacu. Ia mengikuti langkah jagoan yang berani, berlari dengan semangat yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Setiap kali suara ledakan menggema, Aril berusaha tetap fokus, menatap musuh yang mengintimidasi di kejauhan.
Aril berlari, mengikuti sosok gagah itu, hingga sebuah peluru melesat dengan kecepatan kilat. Dalam insting yang tak terduga, ia melompat untuk melindungi sang jagoan. Namun, langkahnya menjadi bumerang; ia merasa tubuhnya terjatuh, dan dunia sekelilingnya bergetar dalam gelap.
Saat Aril terbangun, ia mendapati dirinya kembali di kursi bioskop. Seorang petugas cleaning service, dengan senyum penuh kehangatan, membangunkannya. "Nak, bangunlah. Filmnya sudah habis."
Aril terbangun. Ketika ia mau beranjak pergi, petugas itu berkata lagi, "Jangan biarkan ketakutan menguasaimu. Kamu harus berani."
Kata-kata itu melingkupi pikiran Aril. Di dalam hatinya, ada api kecil yang mulai menyala. Keberanian yang ia lihat di layar, apa itu hanya khayalan? Dengan tekad baru, Aril pulang dengan perasaan aneh namun menenangkan.
Keesokan harinya, Aril menantang dirinya sendiri. Ia melihat sekelompok anak yang biasa membuli dirinya, kini melangkah dengan ketegasan yang baru. "Berhenti!" teriaknya, suara yang menggetarkan dirinya sendiri. "Aku tidak akan membiarkan kalian menghinaku lagi!"
Kejutan melanda wajah-wajah anak itu. Aril, yang dulu selalu takut, kini berdiri tegak dengan keberanian yang menyalakan keberanian mereka. Dalam hening yang menegangkan, ia merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, tetapi tidak lagi karena takut.
Mata mereka melebar, seakan melihat Aril untuk pertama kalinya. Dalam sekejap, ketakutan mereka menggantikan ejekan yang biasa. Sejak saat itu, Aril bukan lagi anak yang dijadikan bulan-bulanan. Ia telah menembus batas ketakutannya, dan keberanian yang terlahir dalam dirinya kini menjadikannya sosok yang disegani.
Anak-anak mulai mendekatinya, ingin berteman. Rasa sepi yang menyelimuti Aril kini sirna, digantikan oleh kehangatan persahabatan yang baru. Ia merasa, untuk pertama kalinya, ia memiliki tempat di dunia ini. Setiap kali keraguan muncul, ia mengingat jagoan dalam film perang itu, bisikan keberanian menuntunnya.
"Beranilah," ucap Aril pada dirinya sendiri. Ia telah belajar bahwa keberanian bukan berarti tak merasa takut, melainkan kemampuan untuk melawan ketakutan itu. Kini, Aril bukan lagi sekadar bayangan, melainkan sosok yang memancarkan cahaya---berani, percaya diri, dan siap menghadapi setiap tantangan yang datang.
Sejak saat itu, Aril berjalan dengan kepala tegak, menjelajahi jalan hidupnya dengan semangat yang baru. Ia tahu, meskipun dulunya ia dianggap pecundang, kini ia adalah pemenang dalam ceritanya sendiri.
TAMAT
"Berani menegakkan keadilan, walaupun mengenai diri sendiri, adalah puncak segala keberanian." - Buya Hamka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H