Mohon tunggu...
Ahmad R Madani
Ahmad R Madani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis lagu, buku, komik, dan skenario film. Alumni ponpes Jombang, Bogor, dan Madinah. Menikah dengan seorang dokter. Menulis fiksi, film, religi, dan kesehatan. Semua akan dijadikan buku. Terima kasih sudah mampir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Robot Bernama Oscar

22 September 2024   08:48 Diperbarui: 22 September 2024   09:13 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Arvin menatap jalanan yang basah sepulang sekolah, hatinya penuh kebencian. Ia merasa terasing, seolah dunia ini milik orang lain. Ayahnya, Azhar, adalah seorang profesor terkemuka yang selalu terjebak dalam lab. Setiap kali Arvin mencoba mendekat, Azhar hanya tersenyum sejenak dan kembali tenggelam dalam risetnya. Ibu Arvin sudah pergi, meninggalkan kekosongan yang tidak bisa diisi siapa pun. Dalam pikirannya, Ayahnya hanyalah bayangan dari sosok yang seharusnya ada di sampingnya.

Namun, suatu sore, segalanya berubah. Di sudut gelap jalan pulang, Arvin menemukan sebuah robot kecil yang tergeletak. Bentuknya futuristik, dengan mata yang berkilau biru. Tertarik, Arvin mendekat dan memeriksa. Robot itu, yang ia beri nama Oscar, seolah hidup. Ketika Arvin menekan tombol di sisi tubuhnya, Oscar menyala dan suara lembutnya memenuhi udara.

"Halo, Arvin! Saya Oscar, temanmu!"

Sejak saat itu, Oscar tidak pernah meninggalkan Arvin. Mereka menjelajahi taman, bermain game, dan berbagi cerita. Arvin merasa seolah memiliki sahabat sejati untuk pertama kalinya. Namun, rasa kesalnya terhadap Ayahnya justru semakin mendalam. Setiap kali Oscar menanyakan tentang Ayahnya, Arvin akan menjawab dengan sinis, menganggap Azhar sebagai sosok yang egois.

Suatu hari, ketika Arvin pulang dari sekolah, suasana di rumah tampak berbeda. Ia menemukan banyak orang berkumpul, wajah-wajah yang penuh duka. Pikirannya langsung melompat, merasakan sesuatu yang buruk telah terjadi. Ia berjalan memasuki rumah, menemukan seorang dokter yang berbicara dengan suara pelan kepada seorang tetangga.

"Ayahmu... telah meninggal dunia akibat kecelakaan di lab," kata dokter itu, suara gemetar.

Arvin terdiam. Ia tidak merasakan air mata mengalir, tidak ada rasa sakit. Hanya kekosongan. Ia bahkan tidak ingin mendengar lebih jauh. Dengan langkah berat, ia menuju ke kamarnya, di mana Oscar sudah menunggu.

"Oscar, apakah kamu tahu tentang Ayahku?" tanya Arvin tanpa semangat.

"Iya, Arvin. Azhar sangat mencintaimu," jawab Oscar, suaranya hangat, namun penuh kesedihan.

"Mencintai aku? Dia tidak pernah ada untukku!" teriak Arvin, marah. "Dia hanya peduli pada lab dan risetnya!"

Oscar terdiam sejenak. Lalu, dengan lembut, ia menjelaskan, "Aku diciptakan untuk menemanimu karena Azhar selalu khawatir akan kesepianmu. Dia sangat mencintaimu, tapi tugasnya membuatnya sulit untuk berada di sampingmu."

Kata-kata Oscar menembus benteng kebencian yang Arvin bangun. 

"Ayahku yang menciptakan kamu?" tanya Arvin memastikan ia tidak salah dengar.

Oscar mengangguk sambil tersenyum. 

Ada sesuatu yang sangat keras menghantam dada Arvin. Perlahan, ingatan akan senyuman Ayahnya, pelukan hangatnya, dan kata-kata sayang yang pernah diucapkan terlintas di benaknya. Arvin teringat saat-saat kecil ketika Ayahnya membacakan cerita, saat mereka tertawa bersama di akhir pekan. Rasa menyesal mulai mengalir dalam hatinya, menggantikan kemarahan yang selama ini menyelimuti pikirannya.

"Aku... aku tidak tahu," Arvin berbisik, air mata akhirnya mengalir deras. "Aku sangat membenci Ayah, tapi sekarang..."

Oscar melangkah mendekat, "Merasa kehilangan adalah hal yang wajar. Ingatlah bahwa cinta tidak selalu diungkapkan dengan kata-kata. Terkadang, tindakan lebih berbicara."

Arvin menatap Oscar, menyesal karena tidak pernah mencoba memahami Ayahnya. Kini, tidak ada lagi waktu untuk memperbaiki hubungan itu. Duka merasuki jiwanya. Ia merasa seperti sebuah puing, hancur oleh penyesalan.

"Saya di sini untukmu, Arvin. Aku akan menemanimu. Kita bisa terus mengenang Azhar bersama," Oscar berkata, memberikan harapan di tengah kesedihan.

Hari-hari berlalu, dan meskipun rasa sakit itu masih ada, Arvin berusaha untuk tidak lagi membenci. Ia mulai mengingat kenangan indah bersama Ayahnya dan menghargai semua pengorbanan yang telah dilakukan Azhar. Bersama Oscar, ia belajar mengalihkan kesedihan menjadi semangat untuk terus melanjutkan hidup.

Di setiap malam, Arvin berbicara kepada Oscar tentang Ayahnya. Mereka berbagi cerita, mengenang tawa, dan menulis surat-surat yang tidak sempat Arvin sampaikan. Mungkin, Azhar telah pergi, tetapi cinta dan ingatan yang tertinggal akan selalu ada dalam hati Arvin.

Dengan Oscar di sampingnya, Arvin akhirnya memahami arti kebersamaan. Meskipun Ayahnya tidak lagi ada, Arvin belajar untuk melanjutkan hidup, menemukan kekuatan dalam kenangan yang indah, dan menjaga cinta itu tetap hidup selamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun