Duduk di kursi rodanya, Yadi menatap keluar jendela, melihat hujan yang turun deras. Sudah dua tahun sejak kecelakaan itu merenggut semua yang ia miliki---kemampuan berjalan, karier yang cemerlang, dan harga dirinya. Sebelum kejadian itu, ia adalah sosok yang sukses, seorang pengusaha yang disegani. Kini, ia hanya pria yang terjebak di masa lalu, menyesali nasib yang berubah dalam sekejap.
Di ruangan sempit ini, Lena, istrinya, masih terus berjuang. Ia keluar-masuk rumah, bekerja sebagai apa saja demi menghidupi mereka berdua. Lena tak pernah mengeluh, tak pernah menyalahkan takdir, meskipun tubuhnya semakin lemah seiring waktu. Terkadang, Yadi merasa bersalah melihat istrinya yang kelelahan. Tapi rasa bersalah itu hanya semakin memperdalam lubang tempat ia terjatuh---tak berdaya.
Hingga suatu hari, Lena jatuh sakit. Ia tak lagi mampu bangun dari kasur. Mata Lena yang dulu selalu penuh semangat kini semakin redup. Yadi memandanginya dari kursi rodanya, merasa ketidakberdayaannya semakin menusuk.
"Kamu harus bangkit, Yad," suara Lena terdengar serak namun tegas. "Aku sudah menerima nasibmu. Sekarang giliranmu untuk menerima kenyataan dan berjuang."
"Untuk apa?" tanya Yadi, suaranya lirih. "Aku ini apa sekarang? Pria lumpuh yang tak bisa berbuat apa-apa..."
Lena menatapnya dengan pandangan lembut, penuh kasih. "Kamu masih bisa berpikir. Masih bisa bermimpi. Jangan biarkan kemarin mengambil terlalu banyak dari hari ini. Kalau aku bisa menerima takdirmu, kenapa kamu tidak bisa?"
Mata Yadi berkaca-kaca. Kata-kata Lena menghantamnya dalam. Selama ini, ia terlalu sibuk meratapi apa yang hilang, tak menyadari bahwa Lena selalu melihat sesuatu yang masih tersisa dalam dirinya---pikiran, hati, harapan.
Lena terus berbisik tentang masa depan, tentang mimpi-mimpi yang pernah mereka bicarakan sebelum kecelakaan. Di tengah bisikan itu, satu ide perlahan tumbuh di benak Yadi. Ia masih punya cerita. Cerita tentang siapa ia dulu, tentang keberhasilannya, tentang jatuh dan bangunnya.
Yadi mulai menulis. Dengan tangan yang berat, ia menorehkan kisahnya di depan laptop. Awalnya, ia ragu, namun setiap kalimat yang keluar terasa seperti membebaskan dirinya dari belenggu masa lalu. Menulis menjadi pelarian sekaligus pengobatan, memberikan arti baru pada hidup yang sempat terasa tak berarti.
Lena memperhatikannya setiap hari, dari ranjang yang kian lama kian menyerap tubuhnya yang lemah. Meski suaranya makin jarang terdengar, senyumnya selalu hadir saat melihat Yadi menulis. Hingga akhirnya, buku pertama Yadi selesai. Naskah itu dikirim ke penerbit, dan tanpa disangka-sangka, kisah tentang kebangkitannya dari kehancuran menjadi fenomena. Buku itu laris manis.