Mohon tunggu...
Ahmad R Madani
Ahmad R Madani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis lagu, buku, komik, dan skenario film. Alumni ponpes Jombang, Bogor, dan Madinah. Menikah dengan seorang dokter. Menulis fiksi, film, religi, dan kesehatan. Semua akan dijadikan buku. Terima kasih sudah mampir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seorang Pria Dewasa

17 September 2024   15:29 Diperbarui: 17 September 2024   15:44 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Evan selalu tertawa. Sejak sekolah, kuliah, hingga bekerja, tak pernah ada yang melihatnya bersedih. Ia adalah pusat keriangan, pembawa kebahagiaan di setiap ruang yang ia masuki. Dengan wajah yang selalu dihiasi senyum, ia melemparkan lelucon kepada siapa saja yang ditemuinya. "Kamu nggak bisa serius, ya?" sering orang bertanya padanya, dan Evan hanya menjawab dengan tawa khasnya. Ia merasa bahagia. Tak perlu repot-repot memikirkan masalah hidup. Bagi Evan, hidup adalah panggung komedi yang tak perlu terlalu serius dimainkan.

Namun, waktu terus berjalan. Satu persatu teman-teman Evan pergi. Dulu mereka sering berkumpul bersama, menghabiskan malam dengan cerita-cerita lucu dan tawa tanpa henti. Tapi kini, ada yang pindah kerja, ada yang sibuk dengan keluarga, dan ada yang tenggelam dalam rutinitas rumah tangga. Perlahan tapi pasti, Evan mulai kehilangan rekan bercandanya. Sore-sore yang dulu diisi dengan obrolan ringan di kafe kini berubah sunyi.

Evan masih sendiri. Ia belum menikah, belum berkeluarga, dan bahkan tidak memikirkan masa depannya. Setiap kali ada yang menanyakan kapan ia akan "menetap" atau memikirkan hal-hal lebih serius, ia menghindar dengan melempar lelucon. "Wah, kalau gue nikah, siapa yang akan jadi pelawak buat kalian?" Dan semua pun tertawa, termasuk Evan.

Tapi pada suatu malam, ketika Evan duduk sendirian di apartemennya yang kecil, tawa itu tidak lagi terdengar. Kesunyian mulai merambat pelan-pelan, menyelimuti dirinya. Ia menyalakan TV, mencari acara komedi, berharap bisa mengusir sepi itu. Namun kali ini, tak ada yang berhasil membuatnya tertawa. Ia teringat akan teman-temannya. Dulu mereka selalu ada di sekelilingnya, tertawa bersama. Kini mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Bahkan beberapa dari mereka tak lagi mengangkat teleponnya.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Evan merasakan sepi yang mencekik. Ia mencoba tertawa, tapi tawa itu terasa hampa. Tak ada lagi suara tawa yang menjawab, tak ada lagi yang memerhatikan leluconnya. Ia benar-benar sendiri.

Saat itulah Evan mulai bertanya pada dirinya sendiri. Mengapa semuanya berubah begitu cepat? Mengapa ia merasa tertinggal? Teman-temannya telah membangun kehidupan---karir, keluarga, rumah---sementara ia hanya menjalani hari demi hari tanpa rencana. Selama ini, ia selalu menghindari kesedihan dengan tawa, selalu menutupi keresahannya dengan humor. Tapi kini, tak ada lagi yang bisa ia lewati dengan canda.

Evan merenung. Apakah selama ini ia terlalu banyak bercanda, hingga ia lupa bahwa hidup tak selalu tentang tawa? Di balik setiap canda, di balik setiap senyuman, ada kesedihan yang tak pernah ia izinkan masuk ke dalam hidupnya.

"Aku belum dewasa," gumam Evan pada dirinya sendiri. "Aku belum pernah benar-benar bersedih."

Evan ingat kata-kata seorang teman lama yang pernah mengatakan, "Orang dewasa itu harus merasakan sedih, Van. Kesedihan adalah bagian dari hidup yang nggak bisa kita hindari. Kalau kita cuma ketawa, kita nggak pernah benar-benar hidup."

Saat itu, Evan tertawa mendengar nasihat itu. Tapi sekarang, dalam kesunyian yang melingkupinya, ia sadar bahwa temannya benar. Kesedihan adalah bagian dari menjadi dewasa. Orang dewasa tidak hanya tahu bagaimana tertawa, tetapi juga bagaimana bersedih, bagaimana menghadapi kenyataan pahit yang tak bisa dihindari.

Hati kecilnya mulai mengusik. Selama ini, Evan telah menutupi kegelisahannya dengan humor, berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi kini, tak ada lagi tempat untuk bersembunyi. Ia harus menghadapi dirinya sendiri, menerima bahwa ia tertinggal, bahwa ia belum merancang masa depan.

Perlahan-lahan, Evan tersenyum. Bukan senyum lebar yang biasa ia tunjukkan saat bercanda, tapi senyum yang penuh kesadaran. Kesadaran bahwa ia sudah bersedih. Dan, dalam kesedihannya, ia menemukan sesuatu yang baru---kedewasaan.

"Ini mungkin pertama kalinya aku benar-benar sedih," gumamnya lagi. "Dan itu artinya... aku akhirnya dewasa."

Evan bangkit dari kursinya, melihat keluar jendela. Malam itu terasa berbeda. Ia masih sendiri, masih dikelilingi oleh sunyi. Tapi kali ini, ia tidak lagi takut. Ia menerima kesepian itu sebagai bagian dari perjalanannya.

Evan berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan mulai memikirkan masa depan, bahwa ia akan merancang hidupnya dengan lebih serius. Namun, ia tidak akan kehilangan tawa. Ia hanya akan menyeimbangkannya dengan kesedihan yang sesekali datang. Karena, seperti yang ia sadari malam itu, menjadi dewasa bukan berarti berhenti tertawa. Justru, tawa akan lebih bermakna setelah kita tahu bagaimana rasanya bersedih.

Dan, dengan senyum yang lebih tulus daripada sebelumnya, Evan akhirnya menerima bahwa hidup adalah panggung yang berisi komedi dan tragedi. Keduanya harus ia jalani, dan ia siap untuk keduanya.

TAMAT

"Kita tidak menjadi dewasa karena usia, kita dewasa dalam kesadaran." - Byron Katie

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun