Dia terbangun dengan cahaya matahari menyengat kulitnya dan mengaburkan pandangannya. Rambutnya yang panjang basah oleh keringat. Pandangannya tertuju pada langit biru yang luas, membentang di atasnya. Dia dikelilingi dinding-dinding tinggi dari batu kasar yang menjulang di segala arah. Dia berdiri di tengah labirin yang terbuka. Ketika dia memutar tubuh, mencari jalan keluar, yang dia temukan hanyalah lorong-lorong batu yang tak berujung.
Panik mulai merambat dalam dadanya. Dia tidak bisa mengingat apa pun, tidak siapa dirinya, tidak dari mana dia berasal, tidak bagaimana dia bisa sampai di sini. Ingatan tentang hidupnya seolah hilang, terhapus oleh sesuatu yang tak dapat dijelaskan.
Dia mulai berjalan, namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Di dinding batu di hadapannya terlihat sebuah tulisan yang terukir: "Siapakah yang membuatmu merasa jengkel, tapi juga membuatmu tersenyum?"
Sebuah teka-teki? pikirnya. Tiba-tiba terdengar langkah kaki yang sedang berlari dari belakang. Dia terlambat untuk menoleh, dan seseorang itu sudah pergi. Dengan cepat dia mencoba mengikuti jejaknya.
"Halo!" teriaknya. Tidak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara tawa yang menggema di antara dinding bebatuan. Lalu, ia melihat asal suara itu. Ada dua anak kecil. Satu laki-laki dan perempuan. Keduanya mungkin baru berusia tujuh tahun. Alih-alih ketakutan seperti dirinya, mereka malah tertawa bahagia.
"Ayo, kejar kami kalau bisa," kata anak laki-laki. Mereka berlari lagi. "Kakak lama sekali." Itu suara anak perempuan. Lalu mereka menghilang.
Apa mereka adik-adiknya? Tiba-tiba kepalanya berdenyut keras seolah sesuatu telah menghantamnya. Sesuatu... mungkin ingatan. Sebuah memori terlukis di kepalanya. Saat itu dia berlari mengejar dua anak kembar yang terus mengejeknya di halaman rumahnya. "Niko, Nina! Awas saja kalian!" Kalimat itu terdengar dalam ingatannya.
"Niko dan Nina," gumamnya setelah bayangan itu selesai berputar. "Itu dia!" Ia menjentikkan jari. "Niko dan Nina adalah jawabannya!" Dia kembali dan menemukan tulisan: "Selamat! Jawaban Anda benar!"
Dia tersenyum penuh kemenangan. Namun, pertanyaan baru terukir. "Siapakah yang pertama kali membuatmu merasa dicintai?" Dia mencoba untuk mengingatnya, namun usahanya sia-sia. Kemudian, dia kembali mendengar suara-suara.
Dia melihat seorang anak kecil, kali ini berbeda dari yang sebelumnya. Anak itu dipeluk ibunya di atas kasur. Suara lembut ibunya menggema. Ayah sang anak juga ada di sana, tertawa kecil sambil membacakan cerita. Momen penuh kebahagiaan itu tampak nyata di depan matanya, meskipun ia sadar mereka tidak benar-benar ada di sini.
Dia merasa dikejar oleh perasaan bersalah yang tak terjelaskan, seolah dia telah melupakan sesuatu yang berharga. Namun perlahan, dia menyadari, mereka bukanlah hantu atau khayalan. Ini adalah kenangan yang berada di kepalanya, yang entah mengapa terkubur di sana dan tak mampu dia gali sebelumnya.
"Ibu dan ayahku. Merekalah yang pertama kali membuatku merasa dicintai."
Sebuah pertanyaan baru terukir lagi. "Siapakah dirimu?"
Sejenak, dia terpaku. Dia masih belum mengingat identitasnya. Semua yang dia pikirkan hanyalah potongan-potongan memori. Bagaikan kaset hitam putih, hidupnya berputar di belakang benaknya seolah dia sedang menonton film. Dia menutup matanya, merasakan semua kenangan itu kembali, menyatu, membentuk gambaran utuh tentang siapa dia sebenarnya. Dia adalah seorang anak, seorang saudara, seorang bagian dari keluarga yang penuh cinta. Dan kini, dia tahu jawabannya.
"Namaku Ariadna. Aku adalah orang yang melupakan jati diri mereka dan dari mana mereka berasal. Namun, aku sudah mengingat kembali semuanya. Aku adalah bagian dari mereka yang mencintaiku. Dan, aku tidak akan pernah melupakan itu."
Saat dia membuka matanya kembali, dinding di depannya retak, mengungkapkan jalan keluar dari labirin. Di hadapannya berdiri ibunya, ayahnya, dan adik-adiknya yang menatapnya dengan senyum hangat. Ariadna berlari ke arah mereka, dan pelukan hangat langsung menyambutnya.
Pelukan itu begitu kuat, begitu nyata. Kehangatan yang selama ini dia lupakan, yang pernah dia tinggalkan saat dia keluar dari rumah orangtuanya untuk merantau ke ibukota bertahun-tahun yang lalu. Dalam pelukan keluarganya, Ariadna tersadar. Seberapa jauh dia pergi? Seberapa lama dia meninggalkan mereka, terjerat dalam kehidupannya sendiri, lupa akan cinta yang selalu menunggunya di sini?
Dia sadar bahwa labirin yang dia lalui adalah cerminan dari perjalanan hidupnya sendiri, perjalanan menjauh dari rumah dan keluarga, tetapi juga tentang menemukan jalan pulang. Dan pada saat itu, dia tahu, tidak peduli seberapa jauh dia melangkah dalam hidup, dia harus selalu ingat untuk kembali kepada orang-orang yang mencintainya.
TAMAT
"Semakin bertambah usia, semakin sadar bahwa orangtua sungguh sangat berarti dalam setiap perjalanan ini." -- Boy Candra
NOTE: Cerpen ini hasil kolaborasi aku dan putriku, Sasha Q.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H