Mohon tunggu...
Ahmad R Madani
Ahmad R Madani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis lagu, buku, komik, dan skenario film. Alumni ponpes Jombang, Bogor, dan Madinah. Menikah dengan seorang dokter. Menulis fiksi, film, religi, dan kesehatan. Semua akan dijadikan buku. Terima kasih sudah mampir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pekarangan Bunga Istriku

15 September 2024   14:01 Diperbarui: 15 September 2024   14:02 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anton berdiri di ambang pintu, memandang pekarangan rumahnya yang dulu penuh warna. Kini, hanya tanah gersang yang terbentang di depannya, seperti mencerminkan keadaan istrinya, Erna, yang terbaring lemah di tempat tidur. Sudah berbulan-bulan Erna sakit. Anton telah membawa istrinya ke berbagai tabib dan dokter, tapi kesembuhan itu tak kunjung datang. Keseharian Anton terasa semakin sunyi, seolah-olah rumah yang dulu ceria kini dipenuhi hampa.

Pekarangan yang dulu dipenuhi bunga mawar dan anggrek, perlahan kehilangan sinarnya. Tanahnya retak, daun-daun kering berterbangan di setiap hembusan angin. Anton merasa seolah kehidupan di rumahnya ikut mengering seiring dengan kesehatan Erna yang memburuk.

Suatu sore, Anton duduk di samping tempat tidur Erna. Matanya berkaca-kaca melihat tubuh lemah istrinya yang tertidur. Di saat itu, entah kenapa, ia tergerak untuk berbicara, meski ia tahu Erna mungkin tak mendengarnya.

"Kamu tetap cantik, Na," gumam Anton pelan. "Seindah bunga yang pernah kamu tanam di pekarangan kita."

Anton tak berharap apapun dari kata-katanya. Ia hanya mengucapkannya dari hati, merindukan senyum istrinya yang dulu selalu menghangatkan hari-harinya. Namun, betapa terkejutnya dia ketika pagi harinya, ia melihat ada satu bunga yang tumbuh di pekarangannya. Sebuah bunga mawar merah muda, mekar di tengah kegersangan tanah yang sudah lama tak dihidupi.

Anton mengerutkan kening, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia mendekat, menyentuh kelopak bunga itu yang terasa begitu lembut dan hidup. Lalu, saat ia kembali ke dalam rumah, ada pemandangan lain yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Erna. Matanya yang tertutup selama berminggu-minggu kini mulai membuka sedikit, seperti ada cahaya baru yang muncul dari dalam dirinya.

"Erna?" Anton mendekat dengan hati-hati.

Istrinya tak berbicara, tapi ia bisa melihat sedikit pergerakan di bibirnya, seakan ingin merespons panggilannya. Anton merasakan ada keajaiban kecil yang mulai menyelimuti rumahnya. Sejak itu, setiap pagi, Anton menghabiskan waktunya di samping Erna, memuji dan mengucapkan hal-hal indah tentang istrinya.

"Kamu adalah hujan yang kutunggu di musim kemarau, menyejukkan jiwa dan membuat segala sesuatu tumbuh lebih indah di sekitarmu," katanya suatu pagi.

"Hatimu bagaikan taman bunga yang tak pernah layu, setiap kali aku melihatmu, aku merasa menemukan kehidupan baru," katanya di pagi yang lain.

Anton menyaksikan setiap pujian yang keluar dari bibirnya membawa perubahan. Bunga-bunga mulai bermunculan di pekarangan, dan seiring dengan itu, kesehatan Erna juga semakin pulih. Setiap hari ada saja bunga baru yang tumbuh. Mawar merah, putih, kuning, hingga anggrek yang pernah mereka tanam bersama kembali bermekaran. Pekarangan itu perlahan-lahan kembali hidup, penuh dengan warna-warni kehidupan yang dulu hilang.

Dan Erna? Ia mulai bangkit dari sakitnya. Pertama, matanya yang kembali bersinar. Lalu, tangannya yang mulai bisa bergerak, menggenggam tangan Anton dengan lemah tapi penuh cinta. Hari demi hari, tubuhnya semakin kuat. Senyumnya yang lama menghilang, perlahan kembali menghiasi wajahnya yang dulu tampak pucat.

Anton semakin menyadari bahwa ada kekuatan dalam kata-katanya, bukan sekadar pujian kosong, melainkan cinta yang selama ini mungkin terlupakan di tengah kesibukan hidup.

"Na, kamu selalu tahu bagaimana caranya membuat dunia kita terasa indah," ucap Anton suatu pagi sambil memandang pekarangan yang kini penuh dengan bunga. "Kamu adalah kebahagiaan yang tak pernah luntur."

Dan saat itu, Erna yang sudah bisa duduk di kursinya, tersenyum penuh arti. "Terima kasih, Mas Anton," suaranya lirih tapi jelas. "Mungkin aku hanya butuh mendengar semua itu lagi."

Anton menatap istrinya dengan perasaan haru. "Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu butuh itu?"

Erna tersenyum kecil, meski lemah. "Aku nggak mau mengeluh, Mas. Tapi terkadang, kita semua butuh diingatkan tentang seberapa besar kita dihargai."

Anton menyadari bahwa selama ini, dia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, lupa memberikan perhatian yang lebih dalam pada istrinya. Ia lupa bahwa pujian sederhana bisa menghidupkan kembali semangat yang perlahan memudar. Sejak itu, Anton berjanji tak akan pernah lagi lupa memuji istrinya, memberikan penghargaan kecil yang bisa menguatkan hubungan mereka.

Pekarangan mereka kini penuh dengan bunga. Setiap hari Anton melihat keajaiban kecil itu tumbuh, mengingatkannya bahwa cinta yang dipupuk dengan kata-kata lembut dan pujian bisa menghidupkan kembali sesuatu yang hampir mati. Dan rumah mereka pun kini kembali penuh dengan kehangatan.

TAMAT

"Pujian tidak memerlukan biaya, namun banyak yang membayar mahal untuk itu." -- Thomas Fuller

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun