Langit masih gelap ketika Bobi memulai larinya. Sejuknya pagi hari mengelus wajahnya, namun tubuhnya sudah dipenuhi oleh keringat. Lomba maraton yang ia ikuti hari ini terasa lebih dari sekadar sebuah ajang berlari. Ada sesuatu yang menggelayuti pikirannya, mengganggu langkah-langkahnya yang terus maju.
Bobi teringat kembali pada masa kecilnya. Dulu, setiap harinya ia seperti berkejaran dengan waktu. Sejak pertama kali bersekolah, ia selalu diingatkan oleh ayahnya, "Jangan malas, Bobi! Hidup itu perlombaan. Kalau kamu lambat, kamu kalah."
Sejak itu, Bobi merasa seolah dikejar oleh waktu yang tak pernah berhenti. Dari pagi ke pagi berikutnya, hidupnya selalu dihantui oleh suara ayahnya yang berulang kali berkata bahwa hidup adalah perlombaan. Sekolah, ujian, masuk universitas, mencari pekerjaan---semuanya terjadi begitu cepat, seakan Bobi tak punya waktu untuk menoleh ke belakang. Dunia terus berlari dan ia harus mengejarnya.
Sepanjang maraton, ia merasakan sensasi yang sama. Setiap langkah yang ia ambil mengingatkan pada langkah-langkah hidupnya. Cepat, terengah-engah, dan kadang lelah. Dalam bekerja, Bobi merasa tak pernah bisa berhenti. Kenaikan jabatan, deadline, target yang tak ada habisnya, semuanya mendorongnya untuk terus berlari tanpa henti. Seperti lomba maraton ini, Bobi selalu merasa tertinggal. Selalu ada yang lebih cepat, lebih pintar, lebih kuat.
Bobi tersenyum pahit di tengah napasnya yang semakin berat. Pernikahannya pun terasa seperti perlombaan. Menikah karena tuntutan usia, membangun rumah tangga dengan segala kebutuhan yang harus terpenuhi. Ia mencintai istrinya, tentu saja. Tapi terkadang, cinta terasa tenggelam di tengah kewajiban yang tak berkesudahan. Mengasuh anak, menyiapkan masa depan, mengatur keuangan---semuanya seperti perlombaan yang tak ada akhirnya.
Bobi melihat garis tengah lomba semakin dekat. Jaraknya semakin menipis, tapi setiap meter yang dilaluinya justru terasa semakin panjang. Ia bertanya dalam hatinya, kapan perlombaan ini akan selesai? Mengapa hidupnya seperti sebuah lintasan tanpa henti, yang tak memberinya ruang untuk bernapas, merenung, atau bahkan berhenti sejenak?
Seketika, angin berembus lebih kencang. Para penonton di pinggir jalan bersorak-sorai, memberi semangat kepada pelari-pelari yang mulai memasuki babak akhir lomba. Namun, suara itu semakin pudar di telinga Bobi. Sorak sorai itu tak lagi memiliki makna. Bobi hanya ingin mencapai garis finish, apa pun yang menunggunya di sana.
Langkah kakinya semakin berat, tapi tekadnya tak kendur. Sedikit lagi, batinnya. Sedikit lagi sampai semua ini selesai. Detak jantungnya berpacu seiring napasnya yang semakin pendek. Bobi merasa tubuhnya nyaris menyerah, tapi pikirannya masih teguh. Garis finish semakin jelas di depan mata.
Akhirnya, Bobi melewati garis itu. Ia menang! Namun, alih-alih sorak-sorai kemenangan, keheningan yang menyambutnya. Bobi memandang sekeliling. Para penonton hilang. Tak ada plakat kemenangan, tak ada rekan pelari, tak ada panitia yang menunggu di garis akhir.
Yang ada hanya sunyi, diselimuti bayang-bayang gelap. Dan di hadapannya, batu-batu nisan berbaris rapi di sepanjang pandangan. Bobi tersentak. Ia berada di sebuah pemakaman. "Ini... apa?" gumamnya, bingung.