Mohon tunggu...
Ahmad R Madani
Ahmad R Madani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis lagu, buku, komik, dan skenario film. Alumni ponpes Jombang, Bogor, dan Madinah. Menikah dengan seorang dokter. Menulis fiksi, film, religi, dan kesehatan. Semua akan dijadikan buku. Terima kasih sudah mampir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jiwa yang Tertukar

15 September 2024   07:17 Diperbarui: 15 September 2024   19:55 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.freepik.com/free-ai-image/lovely-portrait-father-son-celebration-father-s-day

Tabrakan itu terjadi begitu cepat, seperti kilat menyambar langit yang cerah. Romi menginjak pedal gas mobil mewahnya, sementara Fajar dengan motornya menyalip di jalan sempit. Dentuman besi dan bunyi rem pecah mengisi udara, disusul dengan keheningan yang memekakan. Di detik itu, dunia mereka berubah.

Di rumah sakit, keduanya terbaring di ruangan yang sama. Romi, seorang pengusaha sukses yang hidupnya dikelilingi kemewahan, dan Fajar, seorang pengemudi ojek yang bergulat setiap hari untuk menghidupi keluarganya. Dokter-dokter sibuk mengoperasi mereka, memasang kembali tulang yang patah, mengembalikan denyut kehidupan yang nyaris hilang. Namun, ada satu hal yang tak mereka sadari---sesuatu yang jauh lebih dalam dari luka fisik, sesuatu yang lebih halus dari helai saraf yang tersambung kembali.

Ketika Romi membuka matanya, ia merasa aneh. Dunia di sekelilingnya asing, terlalu sempit, terlalu sunyi. Ia melihat ke tangannya---kulitnya kasar, hitam terbakar matahari. Ia mencoba berbicara, tapi suaranya serak, penuh kebingungan. Di seberang ruangan, Fajar terbangun. Ia menatap cermin di dinding. Sosok yang ia lihat bukanlah dirinya. Sosok itu berpakaian bersih, rapi, berwajah tenang seperti seseorang yang tak pernah kekurangan apapun.

Romi, yang kini berada dalam tubuh Fajar, tersentak ketika mengenali tempat ini---sebuah kontrakan kumuh di pinggiran kota, dengan suara tikus berlari di langit-langit. Fajar, yang kini bernafas dalam tubuh Romi, memandang ke sekitar apartemen luas yang berkilauan dengan marmer dan perabotan mahal.

Malam pertama, keduanya kebingungan. Romi, dalam tubuh Fajar, tertawa getir ketika meraba saku celana yang kosong. Tak ada uang, tak ada kenyamanan, hanya rasa lapar yang menusuk. Ia mendapati istrinya duduk di meja makan dengan wajah penuh keletihan, memandanginya dengan harapan kecil yang tak bisa ia penuhi. Namun, dalam kebingungannya, Romi merasa sesuatu yang tak pernah ia rasakan selama ini---kehangatan keluarga yang sederhana, meski diliputi keterbatasan.

Sementara itu, Fajar, dalam tubuh Romi, duduk di depan meja besar penuh berkas dan dokumen. Ia kini memiliki segalanya---uang, kekuasaan, status. Ponselnya terus berdering, isinya janji makan malam di restoran mewah, pertemuan penting dengan klien-klien besar. Awalnya, ia merasa senang. Kehidupan baru ini seperti mimpi. Namun, kebahagiaan itu perlahan terkikis oleh tekanan yang datang dari segala arah. Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang dulu selalu ia abaikan saat hidup sebagai Fajar---kesederhanaan, keaslian, kebahagiaan tanpa beban.

Hari-hari berlalu, dan Romi mulai menemukan kebebasan dalam hidup baru ini. Ia merasakan ketenangan saat mengantar anak-anak Fajar ke sekolah dengan motor tua. Tawanya terdengar lebih lepas saat duduk bersama sang istri, menikmati secangkir teh panas yang sederhana, bukan wine mahal yang ia biasa teguk dalam kesendirian. Dalam hidup Fajar, ia menemukan makna yang selama ini ia cari---bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang dibeli, melainkan dirasakan dari hal-hal kecil yang tak ternilai harganya.

Sebaliknya, Fajar mulai merasakan kebosanan yang menyesakkan. Mobil mewah, rumah besar, dan segalanya yang dulu ia idamkan ternyata datang dengan harga yang tidak pernah ia bayangkan---rasa kesepian yang dalam, ketidakpercayaan dari orang-orang di sekitarnya, dan tekanan untuk terus mempertahankan status yang melelahkan. Di setiap sudut hidup Romi, ia menemukan kehampaan. Fajar rindu kehidupan lamanya, kehidupan yang meski sederhana, selalu menawarkan harapan setiap kali ia melihat senyum anak-anaknya.

Suatu hari, keduanya bertemu kembali secara tak sengaja di sebuah taman kota, tempat di mana mereka dulu mengalami tabrakan fatal itu. Romi, yang kini terbiasa dengan kehidupan sebagai Fajar, duduk di bangku kayu sambil mengamati anak-anak bermain. Fajar, dalam tubuh Romi, berjalan mendekat dengan langkah berat, wajahnya tampak lebih tua dari seharusnya, lelah oleh tanggung jawab yang tak pernah ia duga akan membebaninya.

"Bagaimana hidupmu, Romi?" tanya Fajar, meski kata-kata itu terasa asing keluar dari mulutnya yang bukan lagi miliknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun