Mohon tunggu...
Ahmad R Madani
Ahmad R Madani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis lagu, buku, komik, dan skenario film. Nominator AMI Awards 2015. 3 bukunya terbit di Gramedia. Penulis cerita di comicone.id. Sudah menulis 3 skenario film. Tumbal: The Ritual (2018), Jin Khodam (2023), Kamu Harus Mati (coming soon).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Memori Pria Tua

14 September 2024   19:21 Diperbarui: 14 September 2024   19:38 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sinar matahari pagi menelusup pelan melalui tirai tipis di kamar rumah sakit itu, memberikan sedikit kehangatan pada ruang yang terkesan dingin. Pria tua bernama Sakti terbaring lemah di ranjang, tubuhnya kurus, napasnya berat. Usia telah menggerogoti dirinya, bukan hanya secara fisik, tetapi juga dalam cara ia mengingat dunia.

Seorang suster dengan wajah tenang duduk di kursi di samping ranjangnya, menggenggam tangannya dengan lembut. Ia telah merawat Sakti selama beberapa bulan terakhir. Setiap hari, ia mendengar cerita yang sama, tentang betapa Sakti mencintai istrinya yang sudah tiada. Ia tidak pernah menyela, tidak pernah mengoreksi.

Sakti menoleh pelan, matanya tampak jauh, seakan menembus waktu dan ruang. Suaranya parau, namun penuh perasaan. "Istriku, Susi... wanita yang paling aku cintai. Dia telah pergi, tapi aku masih bisa merasakan kehadirannya setiap kali aku membuka mata."

Suster tersenyum tipis, matanya berkilat.

Sakti melanjutkan ceritanya, suaranya bergetar dengan emosi. "Dia wanita luar biasa, Suster. Susi itu... dia selalu sabar dengan semua kebodohanku. Dia yang selalu mengingatkan aku untuk tidak terlalu keras kepala, untuk menikmati hidup. Tapi... aku tak pernah mendengar nasihatnya, tak pernah benar-benar mendengarkan." Sejenak, Sakti terdiam, dan pandangannya menerawang.

"Aku ingat bagaimana kami dulu sering berjalan di taman setiap sore. Dia suka sekali bunga mawar. Tapi aku... aku terlalu sibuk dengan urusanku. Sekarang, aku menyesal, Suster. Betapa aku menyesal tidak memberikan waktu lebih untuknya."

Suster mengalihkan pandangannya ke arah jendela.

"Suster, apakah kamu punya seseorang yang kamu cintai?" tanya Sakti, suaranya mengalun perlahan, hampir seperti sebuah bisikan. "Seseorang yang kamu ingin selalu berada di sampingmu?"

Suster tersenyum getir. "Ya, Pak Sakti. Saya punya."

Sakti tersenyum kecil, senyum yang sejenak menghangatkan hatinya. "Jangan pernah lepaskan dia. Jangan seperti aku. Aku terlalu sibuk mengejar hal-hal yang tidak penting. Pada akhirnya, yang paling berarti hanyalah dia."

Suster menarik napas dalam, dadanya berdegup kencang. Setiap kata yang diucapkan Sakti seakan menghujam relung hatinya. "Pak Sakti, apakah Anda masih sering bermimpi tentang Susi?" tanyanya, meski ia tahu jawabannya.

Sakti mengangguk lemah. "Ya... hampir setiap malam. Dia datang dalam mimpiku, menatapku dengan senyum yang sama. Tapi dia tidak pernah bicara. Dia hanya berdiri di sana, seolah-olah menungguku untuk menyusulnya."

Ada jeda sejenak. Suasana kamar seolah tenggelam dalam keheningan yang pekat, hanya suara napas Sakti yang terdengar. Suster tidak bisa lagi menahan dirinya. Air matanya mengalir pelan, tak bisa ia cegah.

Sakti melanjutkan, "Aku pikir, aku sudah siap untuk pergi. Sudah lama aku berharap bisa bertemu Susi lagi di tempat yang damai. Tapi, aku takut, Suster... aku takut jika aku mati, aku masih tidak bisa menemukannya."

Suster menahan napas. Kata-kata Sakti menusuk dalam. "Pak Sakti," Suster berkata dengan suara yang gemetar, "Bagaimana jika orang yang Anda cintai, sebenarnya tidak pernah benar-benar pergi? Bagaimana jika dia masih ada di dekat Anda, tetapi Anda hanya tidak bisa melihatnya dengan cara yang dulu?"

Sakti terdiam, sejenak ragu, lalu tersenyum lemah. "Itu akan menjadi keajaiban, Suster. Tapi... hidup tidak seindah itu, kan?"

Suster hanya mengangguk pelan.

Waktu terus berlalu, dan Sakti mulai terlihat lebih lelah. Matanya semakin sayu, tubuhnya semakin terkulai di atas ranjang. Suster tetap di sisinya, menggenggam tangannya erat.

"Pak Sakti," bisik Suster perlahan, "Saya yakin, Susi pasti selalu mencintai Anda. Dan dia selalu berada di sini, lebih dekat dari yang Anda kira."

Sakti tersenyum kecil, mungkin untuk terakhir kalinya hari itu. "Terima kasih, Suster," bisiknya pelan sebelum matanya menutup perlahan, tenggelam dalam kedamaian yang lama ia cari.

Suster tetap di sana, duduk di sisinya, menggenggam tangan pria yang ia cintai. Karena dialah Susi, istri yang sangat dicintai Sakti. Meski Sakti tak akan pernah tahu, dia sudah lama berada di sisinya, seperti yang pernah mereka janjikan dulu---sampai maut memisahkan.

TAMAT

"Kegembiraan terbesar dalam hidup adalah kenangan indah. Tugasmu adalah menciptakan sebanyak mungkin dari kenangan itu." - Brian Tracy

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun