Kemudian, terdengar suara tepuk tangan.
Orang-orang di halte, yang sebelumnya hanya menatapnya dengan heran, kini bertepuk tangan. Mereka tersenyum, mengangguk penuh apresiasi. Amara menatap mereka dengan bingung, tapi senyumnya tak hilang. Ia tidak membutuhkan pujian atau pengakuan. Bagi Amara, tarian ini adalah miliknya sendiri---dan momen di bawah hujan ini sudah lebih dari cukup. Ia mengangkat wajah ke langit, membiarkan tetes-tetes terakhir hujan jatuh di pipinya, seakan mengucapkan selamat tinggal untuk sementara.
Ketika bus akhirnya tiba dan orang-orang mulai naik, Amara tetap berdiri di sana, memandang jalanan yang basah. Hujan telah berhenti, namun di dalam dirinya, musik itu tetap ada---musik dari alam, dari hujan, dari hatinya. Ia tahu, kapan pun hujan kembali turun, ia akan menari lagi. Di bawah curah air dari langit, ia akan menjadi penari yang sesungguhnya.
Setiap tetes hujan adalah nada. Setiap tetes hujan adalah harapan.
Dan Amara akan selalu menantikannya.
TAMAT
"Hidupkan kebenaranmu. Ekspresikan cintamu. Bagikan antusiasme. Ambil tindakan menuju impianmu. Berjalan bicaramu. Menari dan bernyanyi untuk musikmu. Rangkullah berkatmu. Jadikan hari ini layak untuk diingat. " -- Steve Maraboli
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H