Tetes terakhir embun jatuh di ujung daun, menggantung membentuk kristal, sementara seberkas cahaya matahari pertama menyorot dari balik pepohonan, memberikan kehangatan di sejuknya pagi. Hujan deras semalam membuat desa semakin dingin. Windy memeluk tubuhnya sambil memandang hutan. Ayahnya berkata, hutan sudah jarang dilewati orang karena terjadi banyak peristiwa aneh, seperti hadirnya kabut misterius. Para warga seringkali melihat yang tidak-tidak dan dibuat tersesat olehnya. Windy tak percaya. Empat tahun yang lalu, sebelum Windy pindah dari sini untuk kuliah di ibukota, ia tak pernah mendapati adanya kabut misterius yang berbahaya itu. Bahkan, ia suka bermain di hutan bersama sahabatnya, Adiba.
"Adiba pasti bangga padamu," tiba-tiba Ayah bicara. "Ayah ingat kalian suka jalan-jalan ke sana sebelum dia tiada," katanya sambil menunjuk hutan di hadapan mereka. Lalu Ayah masuk ke rumah.
Windy tak ingin ke sana lagi. Dia merasa sedih setiap mengingat hutan beserta kenangan di dalamnya. Tiba-tiba ia melihat seseorang berlari ke arahnya. Itu ibunya Adiba.
"Kamu lihat Fitri?" tanyanya. Fitri adalah adik Adiba yang sebentar lagi lulus SMA.
Windy menggeleng. "Tidak. Memangnya kenapa, Tante?"
"Dia belum pulang ke rumah sejak semalam. Terakhir kali dia terlihat di hutan."
Windy tidak mau percaya kabut itulah yang menyesatkan Fitri. Meskipun Windy sangat tidak mau ke hutan lagi, dia tidak bisa melupakan wajah memohon ibunya Adiba. Siangnya, Windy memutuskan untuk mencari Fitri di hutan.
Hutan terlihat hampir sama seperti terakhir kali dia mengingatnya. Angin membawa udara sejuk, daun yang bergesekan menghasilkan lagu yang indah, daun kering di kaki terkadang menusuk. Namun, perlahan-lahan Windy mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Udara terasa lebih berat. Di kejauhan, di antara pepohonan hutan yang menjulang, kabut mulai menggantung rendah, menyelimuti sekeliling dengan lapisan tebal yang perlahan merayap mendekat. Kabut itu tidak seperti kabut pagi yang biasa. Kabut ini terasa hidup, seolah memiliki pikiran dan jiwa sendiri.
Jantung Windy berdegup lebih cepat. Windy memutuskan untuk kembali. Namun, saat Windy mengira akan sampai, ia kembali ke tempat itu. Kemudian, Windy melihatnya. Alih-alih seperti mayat, dia terlihat lebih hidup daripada manusia, seolah kabut ini mengembalikan rohnya. Adiba berjalan mendekat.
Dengan suara tegas, Adiba berkata, "Kenapa kau melakukannya?"
Seketika Windy menangis. "Aku minta maaf...."
Empat tahun yang lalu, sebelum Windy dan Adiba lulus SMA, mereka berada di tempat ini, membicarakan masa depan. Windy ingin tetap tinggal di desa dan membantu  orangtuanya, sedangkan Adiba ingin keluar dari sini, untuk kuliah. Namun, Windy tidak terima dengan keputusan Adiba. Ia memaksa sahabatnya untuk tidak pergi. Akhirnya, Adiba menuruti keinginan Windy. Ia lulus SMA dan tidak berkuliah. Beberapa bulan kemudian, Adiba sakit parah. Kurangnya fasilitas medis di desa membuatnya kesulitan mendapat diagnosis. Tidak lama setelahnya, Adiba meninggal dunia. Semenjak itu, Windy dihantui rasa takut dan bersalah. Jika saja ia membiarkan Adiba pergi, mungkin sahabatnya masih terselamatkan. Dia tidak tahan tinggal di desa dan akhirnya pindah ke kota, mendaftar kuliah, dan mengubah hidupnya.
"Aku menyesal, Adiba. Seharusnya aku tidak pernah menahanmu untuk pergi. Aku takut kehilanganmu... dan karena itu aku egois. Aku berpikir kalau kamu tetap di sini, kita akan selalu bersama. Tapi aku salah. Aku tidak pernah benar-benar memikirkan apa yang terbaik untukmu dan aku tidak pernah punya keberanian untuk meminta maaf. Aku minta maaf, Adiba."
"Kamu tidak bisa mengubah masa lalu, tapi kamu bisa menebusnya." Adiba tersenyum.
"Bagaimana caranya?"
Lalu, Adiba menghilang. Kabut yang tadinya mencekam mulai memudar, bersamaan dengan ketakutan yang selama ini membelenggu dirinya. Windy sadar, seperti kabut yang hanya sementara, ketakutannya juga hanyalah bayangan, sesuatu yang bisa hilang jika kita cukup berani untuk menghadapinya.
"Kak Windy?" sebuah suara memanggilnya.
"Fitri! Ke mana saja kamu?"
Fitri menjelaskan, hujan deras semalam membuatnya tidak bisa pulang ke rumah dan memutuskan untuk menginap di rumah temannya yang tinggal di pinggir hutan. Selama perjalanan pulang, mereka bicara tentang banyak hal. Fitri menjelaskan rencana setelah dia lulus SMA. Dia ingin berkuliah di kota, namun tidak yakin. Akhirnya, Windy berusaha membantu Fitri mengejar impiannya. Dengan itu, mereka merencanakan perjalanan ke kota. Dan meskipun langkah ini tidak bisa mengembalikan Adiba, Windy tahu bahwa dengan membantu Fitri, dia telah menemukan cara untuk menebus masa lalunya, dengan memberikan kesempatan pada generasi baru untuk mengejar mimpi yang dulu tidak sempat terwujud.
TAMAT
"Kita menjadi bijak bukan oleh ingatan masa lalu kita, tetapi dengan tanggung jawab untuk masa depan kita." - George Bernard Shaw
NOTE: Cerpen ini hasil kolaborasi aku dan putriku, Sasha Q.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H