Surya memutuskan untuk membawanya ke seseorang yang lebih mengerti lentera cinta. Neneknya. "Tolong saya, Nek. Lentera ini rusak." Surya memohon, lalu menjelaskan bagaimana lentera itu bisa seperti ini.
Sang Nenek terkekeh. "Cinta kalian tidak ditentukan oleh api di lentera ini. Tapi, hidup api inilah yang ditentukan oleh cinta kalian."
Surya diam beberapa saat, berusaha untuk mencerna kalimat neneknya.
Sang Nenek kembali bicara, "Pergi dan selesaikan masalahmu dengan istrimu. Lentera cinta ini akan menyala setelahnya."
Kemudian, Surya pulang ke rumah, masih meninggalkan ratusan pertanyaan di kepalanya. Nura duduk di tepi tempat tidur. Kegelapan seolah mencerminkan kehampaan di hatinya. Surya duduk di samping Nura, matanya menunduk, terjebak dalam rasa bersalah dan penyesalan.
Akhirnya Surya meruntuhkan tembok yang menghalangi mereka dan mulai bicara, "Aku minta maaf telah mengabaikanmu."
Dengan suara lirih, Nura berkata, "Aku juga salah. Aku marah tanpa mencoba mengerti apa yang kamu rasakan." Mata mereka bertemu untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dan di sana, ada kesadaran bahwa cinta mereka belum hilang, hanya terpendam di bawah lapisan ego dan kesalahpahaman.
Akhirnya mereka saling mengungkapkan rasa rindu, harapan, dan ketakutan yang selama ini tertahan. Sedikit demi sedikit, perasaan hangat kembali muncul, seperti api kecil yang mulai menyala setelah dipadamkan angin.
Di saat itu, lentera di samping mereka tiba-tiba menyala lagi, lebih terang dari sebelumnya, seolah memberi sinyal bahwa mereka telah menemukan jalan kembali satu sama lain.
TAMAT
"Cinta sejati serupa api abadi. Selalu terbakar, tak pernah sakit, tak pernah tua, tak pernah mati. Tak pernah pula berpaling." - Sir Walter Raleigh