Mohon tunggu...
Ahmad R Madani
Ahmad R Madani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis lagu, buku, komik, dan skenario film. Alumni ponpes Jombang, Bogor, dan Madinah. Menikah dengan seorang dokter. Menulis fiksi, film, religi, dan kesehatan. Semua akan dijadikan buku. Terima kasih sudah mampir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mata yang Berbeda

9 September 2024   09:14 Diperbarui: 9 September 2024   09:38 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
freepik.com/freepik

Rangga adalah seorang pengusaha sukses, berdiri di puncak kariernya. Namanya sering terpampang di majalah-majalah bisnis. Ia membangun kerajaannya dari bawah, namun semakin tinggi ia mendaki, semakin dalam ia terperosok dalam kesombongan. Baginya, dunia ini milik mereka yang bekerja keras. Orang-orang yang tertinggal, yang miskin dan sengsara, hanyalah mereka yang malas dan tak pantas mendapat belas kasihan.

Suatu malam, Rangga pulang dari sebuah acara mewah di hotel bintang lima. Langit malam gelap, namun pikirannya terisi oleh kilau kemewahan dan pujian. Ia merasa tak terkalahkan, namun di dalam gemerlap itu, sesuatu yang tak biasa terjadi. Mobil mewahnya berhenti mendadak, mesinnya mati di tengah jalan yang sepi. Rangga keluar, mengumpat keras.

Tak ada taksi, tak ada bantuan. Sambil menggerutu, ia berjalan ke arah sebuah gang kecil. Di sana, lampu-lampu remang menerangi jalanan yang kumuh. Bau amis menyengat hidungnya, namun sesuatu yang aneh terjadi. Tiba-tiba, tubuhnya terasa ringan, pandangannya berputar. Kakinya tersandung, dan ia jatuh.

Ketika Rangga bangun, ia merasakan dingin menggigit tulang. Tubuhnya terasa berbeda---ringkih dan lemah. Pakaian mewahnya berganti menjadi baju lusuh, dan ketika ia melihat bayangan dirinya di genangan air, ia hampir tak mengenali wajahnya. Kulitnya keriput, matanya sayu, rambutnya tipis. Ia bukan lagi Rangga yang kaya raya, melainkan seorang tua papa yang hidup di jalanan!

Panik, Rangga berdiri dan berusaha memahami apa yang terjadi. Ia meraba sakunya, tak ada dompet, tak ada telepon. Di sekitarnya, para tunawisma duduk di atas kardus, menghangatkan diri dengan api kecil dari kaleng bekas. Ia mendekati mereka dengan langkah ragu. "Maaf... ada yang tahu di mana saya?" suaranya bergetar, lebih lemah dari biasanya.

Salah satu pria tua mengangkat kepalanya. "Kau di tempat yang sama dengan kami. Tak perlu khawatir, malam ini dingin, tapi besok mungkin akan lebih baik."

Rangga terdiam. Ia berusaha memprotes, mengatakan bahwa dirinya adalah pengusaha sukses, bahwa ini pasti salah paham. Namun tak ada yang mendengarkannya. Tak ada yang peduli. Mereka hanya menganggapnya sebagai satu lagi jiwa yang tersesat dalam kerasnya dunia.

Hari-hari berikutnya adalah siksaan. Rangga, yang terbiasa hidup dalam kemewahan, kini merasakan lapar yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Setiap hari ia harus berebut sisa makanan di tempat sampah, atau mengemis recehan dari orang-orang yang dulu ia pandang rendah.

Dalam kebingungannya, ia bertemu dengan seorang wanita tua. Wajahnya keriput, namun senyumnya lembut. Ia menawarkan sepotong roti yang ia dapat dari tempat sampah. "Kau terlihat baru di sini," kata wanita itu.

Rangga menatapnya dengan heran. Bagaimana mungkin wanita ini, yang hidup di tengah kerasnya jalanan, masih mampu tersenyum? Ia menerima roti itu, dan untuk pertama kalinya, ia merasa ada kehangatan di tengah dinginnya dunia.

Selama berminggu-minggu, Rangga hidup sebagai tunawisma. Ia mulai mengenal mereka yang dulu ia remehkan. Setiap orang punya kisah yang memilukan: ada yang kehilangan rumah karena utang, ada yang diusir oleh keluarga, ada yang jatuh sakit tanpa mampu membayar biaya perawatan. Di balik kesulitan mereka, tersimpan kekuatan yang tak pernah Rangga bayangkan.

Suatu malam, setelah perbincangan panjang dengan wanita tua yang selalu membantunya, Rangga tertidur di bawah langit yang berhiaskan bintang. Dalam mimpinya, ia mendengar suara lembut berbisik, "Sekarang kau tahu, hidup bukan hanya soal melihat, tapi memahami."

Ketika ia membuka mata, Rangga kembali berada di kamarnya yang mewah. Langit-langit tinggi, tirai sutra, dan bau harum dari lilin aromaterapi menyambutnya. Tubuhnya kembali---muda, segar, dan kuat. Semua seperti mimpi. Namun sesuatu telah berubah. Pikirannya tak lagi sama. Ia memandang dunia dengan mata yang berbeda.

Keesokan harinya, ia berjalan keluar dari rumahnya dan mendekati seorang pengemis di pinggir jalan. Kali ini, bukan dengan pandangan merendahkan, melainkan dengan tangan yang terulur. "Ini untukmu," katanya sambil memberikan selembar uang.

Pengemis itu menatapnya heran, lalu tersenyum dengan penuh syukur.

Namun saat Rangga berbalik untuk pergi, sebuah suara yang sangat dikenalnya menghentikan langkahnya. Suara wanita tua itu---wanita yang ada di jalanan, yang pernah membantunya. "Kau kembali," katanya lembut.

Tapi saat Rangga menoleh, tak ada siapa pun di sana. Hanya ada suara angin yang berbisik, membelai rambutnya.

TAMAT

"Jangan pernah karena ketidaktahuanmu dan kebodohanmu menjadikan kamu meremehkan orang lain." - Emha Ainun Nadjib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun