Di sebuah kota yang tak pernah tidur, hidup seorang pria bernama Bima. Hari-harinya terselip di antara deru kendaraan dan suara ketukan keyboard yang tak pernah henti. Bima bekerja sebagai seorang eksekutif di perusahaan ternama, selalu sibuk, selalu berlari, selalu merasa dikejar oleh waktu. Setiap langkahnya seolah ditiup oleh angin kencang, selalu lebih cepat, lebih tinggi, lebih jauh. Ambisinya setinggi langit, dan ia percaya bahwa waktu adalah uang, bahwa hari-harinya harus diisi dengan produktivitas maksimal.
Bima jarang menengok ke arah jam di dinding kantornya yang besar. Baginya, waktu hanya satuan angka yang harus dilewati, bukan dinikmati. Orang-orang di sekelilingnya, teman, keluarga, bahkan kekasih, hanyalah bagian dari rutinitas yang menghambat perjalanannya menuju kesuksesan. Hari-hari bergulir cepat, berminggu-minggu, berbulan-bulan, lalu bertahun-tahun. Rambutnya mulai menipis, punggungnya merunduk, tetapi ambisinya tak pernah padam.
Suatu malam, ketika Bima masih terjaga di meja kerjanya, tangannya yang gesit mulai melambat. Pandangannya kabur, rasa lelah yang tak biasa menyergapnya. Ponselnya bergetar---pesan dari seorang teman lama. "Kapan kita bisa bertemu? Rasanya sudah bertahun-tahun sejak kita duduk bersama." Bima mengerutkan kening. Sudah bertahun-tahun? Waktu berlalu begitu cepat, seperti kabut tipis yang melayang di antara kesibukannya. Ia tak ingat kapan terakhir kali ia benar-benar berbicara dengan sahabatnya, atau kapan terakhir kali ia tertawa tanpa memikirkan pekerjaan.
Hari berikutnya, Bima merasakan sesuatu yang ganjil. Dunia seolah melambat di hadapannya. Suara detik jam yang biasanya tenggelam dalam kebisingan, kini terdengar lebih jelas, seperti bisikan yang tak kunjung berhenti. Ia mulai memperhatikan hal-hal kecil yang dulu tak ia hiraukan: warna jingga matahari terbenam, daun-daun yang berjatuhan, tawa anak-anak di taman. Ia merasa aneh, seolah berada di dalam film yang diputar dalam gerak lambat.
Di tengah kebingungannya, Bima mendatangi seorang dokter. Pemeriksaan berlangsung cepat, hasilnya datang lebih cepat lagi. "Anda mengalami penyakit yang langka. Waktu Anda tersisa tak lebih dari beberapa bulan," kata dokter itu dengan nada pelan, seolah takut kata-katanya akan pecah di udara. Waktu yang selama ini ia kejar, kini berbalik mengejarnya. Bima terpaku, tak mampu memahami kata-kata dokter itu. Ia selalu percaya bahwa dirinya memiliki kendali atas segalanya---pekerjaan, hubungan, masa depan. Tetapi sekarang, waktu ternyata menjadi musuh yang paling tak terduga.
Ia pulang dengan hati yang berat. Langkahnya tak lagi terburu-buru, kali ini penuh beban. Di sepanjang perjalanan, ia melihat orang-orang yang sibuk, tergesa-gesa seperti dirinya dulu. Mereka semua berpacu dengan waktu, tak sadar bahwa setiap detik yang lewat adalah bagian dari kehidupan yang tak akan kembali. Bima teringat pada sahabat-sahabatnya, keluarganya, kekasih yang telah lama ia abaikan. Semua momen yang ia sia-siakan demi mengejar kesuksesan yang tak pernah ia nikmati.
Bima memutuskan untuk berubah. Ia mengundurkan diri dari pekerjaannya, memutuskan untuk menjalani hidup dengan cara yang berbeda. Ia mulai menghabiskan waktu dengan sahabatnya, berbicara tentang masa-masa lalu yang penuh tawa. Ia mengajak kekasihnya berjalan-jalan di taman, menyaksikan senja tanpa terburu-buru, mendengarkan suara alam yang selama ini tenggelam di tengah hiruk-pikuk kota. Ia mengunjungi keluarganya, duduk bersama ayah dan ibunya, mendengarkan cerita-cerita lama yang dulu tak pernah ia pedulikan.
Hari-harinya kini terasa lebih lambat, tapi lebih penuh. Setiap detik yang berlalu, Bima merasakan kehadirannya, meresapi maknanya. Ia belajar untuk menghargai momen-momen kecil yang dulu ia anggap remeh. Waktu yang tersisa memang tak banyak, tetapi ia kini paham bahwa bukan panjangnya waktu yang penting, melainkan bagaimana ia mengisinya.
Pada suatu sore, saat Bima duduk di bawah pohon rindang bersama kekasihnya, ia menatap langit yang perlahan berubah warna. Udara terasa tenang, suara dedaunan berbisik lembut di telinganya. Kekasihnya menggenggam tangannya erat, mata mereka bertemu, dan dalam keheningan itu, Bima merasa damai.
Namun, saat ia menutup matanya, siap untuk menikmati detik-detik terakhir dari harinya, sebuah suara asing bergema di dalam pikirannya. Suara yang berat, tapi akrab. "Selamat datang di level berikutnya," suara itu bergema di telinganya. Bima terlonjak, membuka mata, tapi sekelilingnya berubah. Ia tak lagi berada di taman, tak lagi bersama kekasihnya. Ia berdiri di ruangan putih yang tak berujung, dengan layar di depannya.