Di sebuah desa yang terpencil, tinggallah seorang anak lelaki bernama Adi. Hidupnya sederhana, bahkan terlalu sederhana. Rumahnya tak lebih dari gubuk reyot dengan dinding bambu yang mulai berlubang di sana-sini. Ayahnya seorang buruh tani, sementara ibunya sering menjahit baju tetangga untuk menambah sedikit penghasilan. Namun, meski hidup serba pas-pasan, Adi selalu tersenyum. Setiap orang yang melihatnya akan merasa heran---bagaimana mungkin seorang anak yang begitu miskin bisa begitu riang?
Adi punya rahasia yang tak pernah ia bagi kepada siapa pun. Setiap sore, setelah membantu ayahnya di sawah, ia akan duduk di tepi sungai yang mengalir di belakang rumahnya. Di sana, ia memandangi air yang berkilauan ditimpa cahaya matahari sore. Di atas sungai itu, ada jembatan tua yang menghubungkan desanya dengan dunia luar. Jembatan itu rapuh, namun bagi Adi, jembatan itu adalah simbol dari impiannya---melihat dunia yang lebih luas.
Suatu hari, saat ia duduk di sana, seorang lelaki tua menghampirinya. Lelaki itu berpakaian lusuh, dengan topi jerami yang menutupi sebagian wajahnya. Adi tak pernah melihatnya sebelumnya. "Kau sering di sini, ya, Nak?" tanya lelaki tua itu sambil tersenyum. Suaranya lembut, seperti angin yang menyapa daun-daun di sore hari.
Adi mengangguk. "Iya, Pak. Saya suka melihat sungai ini. Indah sekali."
Lelaki tua itu duduk di samping Adi. Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati gemericik air dan keheningan yang menyelimuti sore. "Adi," katanya pelan, "apa kau pernah berpikir untuk mencari kebahagiaan yang lebih besar?"
Adi menoleh, sedikit terkejut. "Maksud Bapak?"
Lelaki itu menatapnya dalam-dalam. "Ada jalan menuju kebahagiaan yang jauh lebih besar, jauh melampaui apa yang bisa kau bayangkan di desa ini."
Adi terdiam. Jembatan tua itu kembali terlintas di benaknya. "Apa jalan itu melewati jembatan ini?" tanyanya, setengah bercanda.
Lelaki tua itu tersenyum tipis. "Mungkin saja. Tapi jika kau ingin menemukannya, kau harus siap meninggalkan apa yang kau miliki sekarang."
Kata-kata itu terus berputar di kepala Adi. Malamnya, ia tak bisa tidur. Jembatan itu, dunia luar, kebahagiaan yang lebih besar---semuanya terasa seperti mimpi yang menggodanya untuk melangkah. Tapi... bisakah ia meninggalkan semuanya?