Regina mengernyit saat air mata menggores kulitnya sekali lagi. Dan lagi. Dan lagi. Sejak kehilangan sang anak---Mira---Regina tak henti-hentinya menangis. Pneumonia merenggut anaknya dari dunia, juga merenggut keinginannya untuk hidup. Regina bagaikan sebuah perahu kayu kecil tanpa penghuni yang terombang-ambing di lautan; sunyi dan tak tahu arah.
Regina tak mampu merasakan apa-apa kecuali rasa bersalah, yang mencengkeram jantungnya dan menggedor-gedor dadanya. Ia merasa semua ini salahnya. Ia tidak bekerja cukup keras untuk menghasilkan uang dan menyembuhkan Mira. Sedangkan suaminya sudah tiada. Meninggal saat usia Mira masih 10 tahun. Itu tiga tahun yang lalu.
Kemudian, air mata itu jatuh lagi. Kesedihannya begitu luas dan dalam, seperti lautan tanpa tepi, ombaknya bergulung terus menerus di hatinya, menenggelamkan setiap harapan yang tersisa. Regina berpikir, ia terlalu banyak menangis sampai rasanya air matanya bisa menenggelamkan satu dunia. Ia tidur sambil memeluk mainan kapal laut milik Mira. Hanya itu yang dapat membuatnya merasakan sosok Mira.
Esoknya, Regina terbangun karena keringat. Udara terasa mencekik dan sinar mentari seolah menggigit. Ia duduk di tepi kasur, menurunkan kaki ke... pasir?
Regina menatap bawah, menemukan lantai kamarnya tertutupi oleh pasir. Ia mengintip ke jendela. Begitu terkejutnya ia saat melihat itu. Laut. Air di mana-mana. Tak ada rumah penduduk, pohon rindang, juga orang-orang. Semuanya air kecuali rumahnya. Seolah-olah lautan mereguk dunia dan hanya menyisakan Regina dan rumahnya.
Regina tak mengerti apa yang terjadi, namun pikirannya tak mau disibukkan dengan pertanyaan itu. Ia memilih untuk meratapi sesuatu yang sudah jelas. Mira. Regina menangis lagi.
Ketika terbangun, Regina mendengar suara gemericik air. Setengah ruangan sudah dipenuhi air. Tanpa berpikir panjang, Regina mencari cara untuk mengusir air dari kamarnya. Ia mencari pel, atau sekop, atau apapun itu yang dapat membantunya. Tiba-tiba Regina menyenggol meja dan menjatuhkan buku. Catatan harian Mira. Ia membuka halaman. Tertulis: ulang tahunku yang ke-10. Regina tersenyum membacanya. Ia selalu tahu Mira anak yang pintar merangkai kata. Gadis kecil itu menceritakan pengalaman menyenangkan saat mereka berlibur ke pantai. Regina tertidur saat membacanya.
Bangun-bangun, Regina melihat kondisi sekeliling, khawatir air telah sepenuhnya meredam kamar. Namun, pasir itu kembali. Tidak ada air. Ia mengintip ke luar jendela. Lautan masih ada.
Regina memutuskan untuk membaca buku harian Mira lagi. Kali ini berjudul: Mengapa maut membawa Ayah? Bagian ini menceritakan kesedihan Mira saat ayahnya meninggal karena kecelakaan. Sebagian halaman itu telah terkoyak oleh air mata. Regina merasa bersalah karena tidak cukup memberikan penguatan untuk Mira saat itu. Regina tak mau mengotori halaman itu dengan air matanya, jadi ia menutup buku dan membiarkan kesedihan itu kembali.
Malamnya Regina terbangun karena terganggu. Ketika membuka mata, air menggenang di seluruh lantainya. Regina panik bukan main. Namun, sepertinya ia menyadari cara ini bekerja. Setiap kali menangis, air memasuki rumahnya. Dan saat dia tersenyum, air itu surut.
Regina membuka halaman terakhir buku harian Mira. Untuk Ibu, judulnya.
Aku tahu perjalanan ini akan segera berakhir, tapi aku merasa damai. Aku sudah menjalani hidup yang penuh dengan cinta dan tawa, semua karena Ibu. Aku akan selalu bersama Ibu, dalam setiap hembusan angin yang menyentuh pipi Ibu, dalam setiap sinar matahari yang menghangatkan hari-hari Ibu. Jangan merasa bersalah, Ibu sudah memberikan yang terbaik untukku. Aku mencintai Ibu, seluas dan sedalam samudra.
Regina tersenyum penuh haru. Tahu bahwa Mira memiliki hidup yang bahagia memantik sedikit api kehidupan dalam dadanya yang sebelumnya hanya terisi oleh kehampaan. Kini air di kamarnya kembali surut dan hanya menyisakan pasir.
Terdengar suara kencang dari luar rumah. Regina melongok melihat sesuatu yang begitu besar dari jendela kamarnya. Kapal laut. Dengan cepat ia keluar rumah, berpijak pada pasir hangat yang menyelimuti sela-sela jari kakinya. Ia hendak menaiki kapal itu, namun teringat satu hal. Ia masuk ke dalam rumah untuk mencari mainan kapal laut Mira. Namun, dia tak menemukannya sama sekali. Pada akhirnya dia mengambil buku harian Mira dan masuk ke dalam kapal tersebut.
Sesaat kemudian, kapal itu berlayar. Laut terasa begitu tak terbatas. Di kejauhan, tak terlihat daratan, namun Regina bisa merasakan ada sesuatu yang besar di lokasi tujuannya, seakan mengingatkan bahwa di tengah gempuran ombak kepedihan yang dalam ini, ada pulau harapan yang mengingatkannya untuk tidak tenggelam terlalu dalam.
TAMAT
"Air mata yang menetes untuk orang lain bukanlah pertanda kelemahan. Itu adalah tanda hati yang murni." - Jos N. Harris.
NOTE: Cerpen ini hasil kolaborasi aku dan putriku, Sasha Q.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H