Sorenya Leo mendatangi rumah Lisa sambil membawa lukisannya. Tidak jauh dari sungai. Suara percik air mengikutinya sampai ke depan pintu. Leo mengetuk pintu rumah tiga kali. Degup jantungnya seirama dengan dentuman air yang menghantam bebatuan. Angin meniupkan bisikan sejuk yang anehnya membuat Leo semakin gugup.
Pintu terbuka.
"Lisa?" Leo bertanya.
Wanita itu mengangguk. "Leo. Sudah lama sekali." Matanya yang gelap membuat Leo dapat bercermin, melihat begitu banyak warna di dalamnya, seolah Lisa meneguk kehidupan untuk sehari-hari. Begitu kontras dengan lukisannya yang tak bernyawa.
Suara tangis bayi menghentikan lamunan Leo.
"Maaf, anakku suka rewel kalau sudah jam segini," Lisa memberi penjelasan.
"Aku akan kembali lagi lain waktu," kata Leo.
"Siapa itu?" seseorang muncul dari belakang Lisa.
"Rafa, ini---"
Kemudian, seperti sengatan listrik, ingatan Leo serta merta kembali, mengisi kekosongan dalam sel-sel memorinya, sementara warna-warna tergurat di kanvas usang berwajah Lisa yang digenggamnya. Kini, lukisan itu sepenuhnya berwarna!
Nama 'Rafa' menggelitik telinganya dalam cara yang hanya sebuah kemurkaan bisa lakukan. Rafa adalah sahabat masa kecilnya. Juga alasan mengapa hubungan Leo dan Lisa berakhir. Rafa merebut Lisa dari genggaman Leo dan membuat gadis itu mencampakkannya. Padahal Rafa tahu Leo telah menyimpan rasa pada Lisa sejak mereka SD. Bagi anak berusia 14 tahun, tak ada rasa sakit yang sebanding dengan ditinggal gadis idaman dan dikhianati sahabat dekat. Dan, melihat mereka masih bersama setelah sekian lamanya, membuat perut Leo bergemuruh oleh kecemburuan.