Mohon tunggu...
Ahmad R Madani
Ahmad R Madani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis lagu, buku, komik, dan skenario film. Pernah dapat nominasi AMI Awards 2015. 3 bukunya terbit di Gramedia. Penulis semua cerita di comicone.id. Sudah menulis 3 skenario film layar lebar. Tumbal: The Ritual (2018), Jin Khodam (2023), Kamu Harus Mati (coming soon).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kanvas Usang

7 September 2024   06:44 Diperbarui: 7 September 2024   06:52 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.freepik.com/vector_corp 

Mobil berhenti dan seketika kepala Leo tidak lagi berdenyut. Pria itu membuka pintu perlahan, sejenak mempersilakan angin segar pedesaan menghambur masuk ke dalam mobil tuanya yang sudah terlalu sering menghirup udara kota yang penuh polusi. Ia menutup pintu di belakang setelah keluar dari mobil. Sol sepatunya menghasilkan suara yang cukup berisik saat bergesekan dengan bebatuan sementara matanya menyapu sekeliling seolah sedang mengingat-ingat.

Setiap sudut desa ini adalah galeri masa lalu; hutan di mana ia dulu berlari bersama kawan-kawannya saat bolos sekolah dan menghindari omelan guru; sungai tempatnya berenang sementara ayahnya memancing ikan mujair dan nila. Semua masih terlihat jelas di benaknya seperti sebuah lukisan yang terpampang nyata di sebuah museum.

Di hadapannya, berdiri sebuah rumah. Meskipun tua, tapi kokoh selama 30 tahun terakhir ini. Ibu keluar, memberikan Leo pelukan hangat. Pelukan yang dapat diartikan sebagai: "Kau akan baik-baik saja, malaikat kecilku."

Leo kena PHK sebulan yang lalu dari pekerjaannya di sebuah perusahaan asuransi. Kesulitan mencari pekerjaan membuatnya depresi. Psikolognya menyarankan untuk berlibur sejenak tanpa memikirkan pekerjaan. Yang terlintas di kepalanya hanyalah rumah. Ia ingin pulang ke rumah.

"Ibu tidak memindahkan semua barangmu," kata Ibu saat menunjukkan kamar Leo waktu kecil.

Leo mengangguk. Ibu pergi ke dapur, meninggalkannya sendiri bersama nostalgia. Semua masih di posisi semula. Foto masa kecil, poster bintang sepak bola, bahkan sampai lukisan-lukisan yang pernah ia buat. Leo terkekeh mengingat dulu ia sempat ingin jadi pelukis.

Leo melihat satu-persatu lukisannya. Semua karyanya menggunakan teknik realisme. Setiap bentuk dan warna terlihat begitu asli dan natural. Ia adalah pelukis alami. Namun, satu lukisan menarik perhatiannya. Ada seorang anak perempuan di lukisan tersebut. Leo tidak tahu siapa dia, karena wajahnya buram dan warna yang dapat ditangkap matanya hanya abu-abu, seakan anak perempuan ini tidak memiliki cerita dalam lukisannya. Leo bahkan tak yakin apa ia yang melukisnya.

"Kau tidak ingat?" tanya Ibu sambil meletakkan secangkir teh hangat di meja. Dia Lisa. Cinta pertamamu."

Leo menggeleng, seolah tak percaya.

"Dia masih tinggal di sekitar sini," kata Ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun