Mohon tunggu...
Ahmad R Madani
Ahmad R Madani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis lagu, buku, komik, dan skenario film. Alumni ponpes Jombang, Bogor, dan Madinah. Menikah dengan seorang dokter. Setelah menulis cerpen dan film di Kompasiana (akan dibukukan), sekarang menulis tema religi dan kesehatan. Terima kasih sudah mampir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bayang Sebuah Wajah

6 September 2024   22:37 Diperbarui: 7 September 2024   06:47 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wajah Susan masih membayang di pelupuk mata Reno, seakan tak ingin pergi. Seperti sebuah ukiran tak kasat mata yang tak pernah pudar dari ingatan. Reno menggenggam kuat kenangan itu, mencoba meraih bayangannya meski ia tahu, kenyataan tak lagi memihak. Susan, perempuan yang ia cintai sepenuh hati, kini hanya menyisakan jejak bayangan yang berkelebat di antara kenangan masa lalu.

Hari itu, hari yang seharusnya menjadi langkah awal mereka menuju masa depan, berubah menjadi mimpi buruk yang tak ingin diingat. Sebuah mobil melaju kencang tanpa ampun, memecah udara pagi yang tenang. Dan di depan matanya sendiri, tubuh Susan terlempar ke aspal tanpa sempat berkata apa-apa. Tak ada yang bisa dilakukan Reno selain berdiri beku. Suaranya tercekik di tenggorokan, tangannya gemetar, dan dunianya runtuh seketika.

Sudah berhari-hari Reno mencoba melarikan diri dari bayangan itu. Tapi ke mana pun ia pergi, wajah Susan selalu hadir, seolah memanggilnya kembali ke titik awal yang memerihkan. Matanya memejam, tapi di balik kelopak matanya, wajah Susan masih ada di sana---tersenyum, memanggil namanya, menggoda seperti yang biasa ia lakukan.

Tak ada pilihan lain. Reno memutuskan untuk pergi. Ia membeli tiket pesawat ke luar negeri, mencoba menghindar dari segala kenangan. Namun di bandara, di tengah lautan manusia yang lalu-lalang, sosok itu muncul lagi. Wajah yang sangat ia kenal. Susan.

Namun kali ini, bukan ilusi. Gadis itu berdiri tegap di depan Reno, memandangnya tanpa berkedip, seolah menyelami pikirannya. Reno tertegun, jantungnya berdentum kencang, dan kakinya terasa seperti terbelenggu akar yang tak tampak. "Susan?" gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada gadis itu.

Gadis tersebut mengerutkan dahi, bingung. "Maaf, sepertinya Anda salah orang. Saya bukan Susan. Nama saya Susi."

Susi? Reno terdiam, mendengar suara itu, begitu serupa dengan suara Susan. Bahkan caranya tersenyum, caranya menatap, begitu mirip. Namun ada yang berbeda. Gadis ini... memiliki mata yang lebih tenang, seperti sebuah danau yang dalam dan tak tergoyahkan oleh angin.

"M-maaf," Reno terbata, "kau terlihat sangat mirip dengan... seseorang yang kukenal."

Susi tersenyum kecil. "Aku sering mendengar itu." Ia lalu memperkenalkan dirinya. "Aku Susi."

Hari-hari berikutnya, Reno dan Susi semakin akrab. Mereka mulai menghabiskan waktu bersama, dan entah bagaimana, Reno merasakan ketenangan yang lama ia cari. Namun setiap kali melihat wajah Susi, bayangan Susan masih terus membayang di sudut-sudut benaknya. Wajah yang sama, tapi berbeda. Kehadiran yang serupa, tapi asing.

Suatu sore, Reno diundang datang ke rumah Susi. Rumah sederhana di pinggiran kota yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Saat menunggu Susi menyiapkan teh, Reno berjalan-jalan di ruang tamu, matanya mengamati benda-benda di sekelilingnya. Foto-foto keluarga terpajang rapi di dinding, menyajikan potongan-potongan kenangan masa lalu.

Di satu sudut, mata Reno tertumbuk pada sebuah bingkai foto. Dua gadis kecil berdiri berdampingan, tersenyum lebar ke arah kamera. Keduanya begitu mirip. Reno mengambil bingkai itu, memperhatikan lebih dekat.

"Oh, kau melihat foto itu?" Susi muncul di pintu, membawa nampan dengan cangkir teh. "Itu fotoku waktu aku kecil."

Reno tersenyum canggung. "Kamu yang mana?"

Susi balas tersenyum. "Coba tebak."

Reno menggeleng. "Kalian berdua sangat serupa."

Susi berkata dengan nada yang dalam. Wajahnya menerawang, mengenang masa lalu. "Orangtua kami bercerai waktu kami masih kecil. Aku ikut ayahku kemari. Kakakku tinggal bersama ibu. Kami nyaris tak bisa berkomunikasi. Hanya ini satu-satunya foto kenangan aku dan kakakku. Kami saudara kembar. Aku Susi, dia Susan."

Tangan Reno gemetar. "Susan?" Reno menelan ludah, menahan gemuruh di dadanya. Foto di tangannya meluncur jatuh ke lantai, kacanya pecah berserakan.

TAMAT

"Merindukan seseorang adalah bagian dari mencintai mereka. Jika kamu tidak pernah berpisah, kamu tidak akan pernah benar-benar tahu seberapa kuat cintamu." - Gustave Flaubert

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun