Suatu sore, Reno diundang datang ke rumah Susi. Rumah sederhana di pinggiran kota yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Saat menunggu Susi menyiapkan teh, Reno berjalan-jalan di ruang tamu, matanya mengamati benda-benda di sekelilingnya. Foto-foto keluarga terpajang rapi di dinding, menyajikan potongan-potongan kenangan masa lalu.
Di satu sudut, mata Reno tertumbuk pada sebuah bingkai foto. Dua gadis kecil berdiri berdampingan, tersenyum lebar ke arah kamera. Keduanya begitu mirip. Reno mengambil bingkai itu, memperhatikan lebih dekat.
"Oh, kau melihat foto itu?" Susi muncul di pintu, membawa nampan dengan cangkir teh. "Itu fotoku waktu aku kecil."
Reno tersenyum canggung. "Kamu yang mana?"
Susi balas tersenyum. "Coba tebak."
Reno menggeleng. "Kalian berdua sangat serupa."
Susi berkata dengan nada yang dalam. Wajahnya menerawang, mengenang masa lalu. "Orangtua kami bercerai waktu kami masih kecil. Aku ikut ayahku kemari. Kakakku tinggal bersama ibu. Kami nyaris tak bisa berkomunikasi. Hanya ini satu-satunya foto kenangan aku dan kakakku. Kami saudara kembar. Aku Susi, dia Susan."
Tangan Reno gemetar. "Susan?" Reno menelan ludah, menahan gemuruh di dadanya. Foto di tangannya meluncur jatuh ke lantai, kacanya pecah berserakan.
TAMAT
"Merindukan seseorang adalah bagian dari mencintai mereka. Jika kamu tidak pernah berpisah, kamu tidak akan pernah benar-benar tahu seberapa kuat cintamu." - Gustave Flaubert
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H