Mohon tunggu...
Ahmad R Madani
Ahmad R Madani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis lagu, buku, komik, dan skenario film. Alumni ponpes Jombang, Bogor, dan Madinah. Menikah dengan seorang dokter. Menulis fiksi, film, religi, dan kesehatan. Semua akan dijadikan buku. Terima kasih sudah mampir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Toko Mainan

6 September 2024   07:20 Diperbarui: 7 September 2024   06:53 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
freepik.com/premium-ai-image/

Di sudut kota yang sering terabaikan, tersembunyi di balik gang-gang sempit yang jarang dilewati orang dewasa, berdiri sebuah toko kecil. Tak ada papan nama yang mencolok, tak ada lampu yang terang benderang. 

Namun, toko itu selalu ditemukan oleh mereka yang paling membutuhkannya---anak-anak yang kehilangan semangat, anak-anak yang hatinya dipenuhi kesedihan dan harapan yang hampir pupus.

Faris adalah salah satunya. Bocah berusia sepuluh tahun itu baru saja mengalami hari terburuk dalam hidupnya. Teman-temannya di sekolah mulai menjauh, meninggalkannya sendirian di pojok kelas. 

Ibunya, yang sibuk bekerja siang malam, jarang pulang tepat waktu untuk menemaninya bermain. Ayahnya? Sudah lama ia tak mendengar kabar tentang ayahnya. Faris merasa dunia mengecil dan kelabu, seakan tak ada lagi alasan untuk tersenyum.

Suatu sore, dalam perjalanan pulang dari sekolah dengan langkah gontai, Faris melihat sesuatu yang aneh. Di antara deretan bangunan tua yang biasa ia lewati, ada sebuah toko yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Etalasenya dipenuhi dengan mainan-mainan yang tak biasa---boneka-boneka dengan ekspresi hangat, kereta kayu yang berkilauan dalam cahaya lembut, dan baling-baling berwarna-warni yang tampak hidup saat terkena hembusan angin.

Rasa ingin tahu membawanya mendekat. Dengan hati-hati, Faris membuka pintu kayu tua itu, dan lonceng kecil pun berdenting. Di dalam, aroma kayu yang khas bercampur dengan bau debu yang menenangkan. Rak-rak kayu tua dipenuhi dengan mainan dari segala jenis---semuanya tampak antik, namun penuh pesona. Toko itu terasa hangat, seolah-olah ia baru saja melangkah ke dunia lain.

"Selamat datang," sebuah suara lembut menyapanya.

Faris menoleh dan melihat seorang pria tua berdiri di belakang meja kasir. Rambutnya memutih, matanya penuh kebijaksanaan, dan senyumnya ramah. Pria itu tampak seperti bagian dari toko, seolah-olah ia telah berada di sana selamanya.

"Aku... aku tidak pernah melihat toko ini sebelumnya," gumam Faris, masih merasa heran.

Pria tua itu tersenyum. "Toko ini hanya terlihat oleh mereka yang membutuhkannya. Kau kehilangan sesuatu, bukan?"

Faris mengangguk pelan, tak sepenuhnya mengerti bagaimana pria itu tahu. Tapi sebelum ia bertanya lebih jauh, pandangannya tertarik oleh sebuah mainan di rak terdekat. Sebuah kotak musik kecil, dihiasi dengan ukiran-ukiran yang rumit, berdiri di sana, seolah memanggilnya.

Pria tua itu mengikuti tatapan Faris. "Itu kotak musik persahabatan," katanya pelan. "Ketika kau membukanya, melodi di dalamnya akan mengingatkanmu akan arti persahabatan yang sejati."

Dengan tangan ragu-ragu, Faris mengambil kotak musik itu dan membukanya. Sebuah melodi lembut mulai mengalun, dan seketika, hati Faris yang sebelumnya berat mulai terasa lebih ringan. Ia teringat saat-saat ketika ia masih memiliki teman, bermain di lapangan dengan tawa yang bebas. Wajah-wajah ceria teman-temannya muncul di benaknya, membuatnya sadar betapa ia merindukan mereka, dan betapa ia sebenarnya masih peduli.

"Teman-temanmu tak benar-benar meninggalkanmu, Faris," kata pria tua itu dengan bijak. "Kadang-kadang, kita hanya perlu sedikit mengulurkan tangan dan mengingatkan mereka tentang arti persahabatan."

Faris tersentak. Bagaimana pria tua itu tahu namanya? Namun, pertanyaan itu menghilang dari pikirannya ketika melodi dari kotak musik itu semakin meresap ke dalam hatinya. Ia merasa hangat, seolah-olah pelukan tak terlihat membalutnya. Sebuah pikiran mulai terbentuk di benaknya---mungkin, selama ini, ia juga terlalu cepat menyerah. Mungkin, ia bisa mencoba lagi. Mencoba berbicara dengan teman-temannya, mencoba memahami apa yang salah, dan memperbaikinya.

Ketika Faris keluar dari toko, dunia di luar terasa berbeda. Udara lebih segar, langkahnya lebih ringan. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Teman-temannya menyambutnya kembali. Tawa yang dulu hilang, kini mulai terdengar lagi di antara mereka.

Sepulang sekolah Faris ingin kembali ke toko mainan itu untuk mengucapkan terima kasih kepada pria tua yang bijaksana. Tapi hanya ada deretan bangunan tua biasa, tanpa jejak dari toko mainan itu. Anehnya lagi, terkadang Faris masih suka mendengar melodi dari kotak musik itu, seolah mengingatkannya, bahwa kebaikan, sekecil apapun, dapat mengembalikan harapan dan kebahagiaan, bahkan di saat-saat yang paling gelap.

TAMAT

"Hidup adalah permainan. Orang-orang yang bahagia adalah para pemainnya. Orang yang tidak bahagia adalah penontonnya. Anda ingin menjadi yang mana?" - Ernie J Zelinski

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun