Mohon tunggu...
Ahmad R Madani
Ahmad R Madani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis lagu, buku, komik, dan skenario film. Nominator AMI Awards 2015. 3 bukunya terbit di Gramedia. Penulis cerita di comicone.id. Sudah menulis 3 skenario film. Tumbal: The Ritual (2018), Jin Khodam (2023), Kamu Harus Mati (coming soon).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat dari Masa Depan

5 September 2024   07:25 Diperbarui: 5 September 2024   07:31 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu, hujan turun dengan derasnya, seakan langit tak kuasa menahan air matanya lebih lama. Awan pekat menggulung di angkasa, dan kilat menyambar di kejauhan, menyisakan aroma tanah basah yang memenuhi udara kamar Dimas. Ia duduk di sudut kamar, mengamati selembar kertas yang baru saja ia temukan dalam laci mejanya. Di permukaan kertas itu, tertera tulisan tangan yang begitu akrab baginya, namun jauh lebih dewasa. Tulisan itu jelas bukan milik siapa pun kecuali dirinya sendiri.

"Dimas,
Ketika kau membaca surat ini, kau akan berusia 17 tahun. Aku adalah dirimu yang datang dari masa depan. Aku tidak punya banyak waktu, jadi simak baik-baik. Ada beberapa keputusan yang akan kau buat, yang akan mengubah hidupmu untuk selamanya. Kau mungkin berpikir hidupmu sekarang tak berarti, tapi percayalah, setiap langkah yang kau ambil di hari-hari ini akan menentukan nasibmu kelak."

Jantung Dimas berdetak lebih kencang. Bagaimana mungkin? Surat ini dari dirinya yang berada di masa depan? Apakah ini sebuah lelucon dari teman-temannya? Namun, semakin lama ia membaca, semakin yakin ia bahwa ini bukan sekadar gurauan. Bahasa yang digunakan dalam surat ini begitu dekat dengan pikirannya---seolah menyingkapkan rahasia terdalamnya yang bahkan tak pernah ia ungkapkan pada siapa pun.

"Kau akan bertemu dengan seseorang, seorang gadis bernama Rina. Ia akan menjadi cahaya dalam hidupmu, tapi juga awan gelap yang menghalangi pandanganmu. Kau akan jatuh cinta padanya, Dimas, dan itulah keputusan pertama yang akan kau sesali."

Dimas merasa tenggorokannya tercekat. Rina, gadis yang selama ini diam-diam ia sukai, memang selalu ada dalam pikirannya. Ia bahkan berpikir untuk mengungkapkan perasaannya pada gadis itu besok. Namun, surat ini---surat dari dirinya di masa depan---memperingatkannya.

"Dia akan memanfaatkanmu, bermain dengan perasaanmu, dan akhirnya meninggalkanmu. Kau akan kehilangan teman-temanmu, kesempatan-kesempatan yang kau miliki, bahkan mimpimu. Hati-hati dengan cinta buta, karena ia bisa menutup matamu pada kenyataan yang lebih luas."

Dimas membiarkan surat itu terkulai di pangkuannya sejenak. Ia teringat malam-malam panjang memikirkan Rina, membayangkan bagaimana hidupnya akan berubah jika ia bisa bersamanya. Tapi surat ini menyadarkannya---ada sesuatu yang lebih besar di luar hasrat masa mudanya.

"Setelah itu, kau akan dihadapkan pada kesempatan besar dalam kariermu. Kau akan memiliki pilihan untuk mengambil beasiswa di luar negeri atau tetap tinggal di kota ini bersama keluargamu. Pilih dengan bijak, karena keputusan ini akan membawamu pada arah hidup yang tak terduga. Jika kau memilih untuk tinggal, kau akan kehilangan kesempatan emas yang hanya datang sekali dalam hidup. Jika kau pergi, kau akan terbang tinggi, namun kesepian akan menjadi teman setiamu."

Angin malam meniup tirai jendela kamar, membawa hawa dingin yang membuat Dimas merinding. Ia selalu bermimpi untuk pergi ke luar negeri, melanjutkan pendidikan, meraih cita-citanya menjadi seorang penulis terkenal. Namun, kini, di hadapannya terbentang dua jalan yang sama-sama penuh duri. Meninggalkan keluarganya, atau meninggalkan mimpinya?

"Aku tak bisa memberitahumu semua yang akan terjadi, Dimas. Hidup adalah tentang belajar dari kesalahan dan tumbuh dari pengalaman. Namun, aku memberimu peringatan ini agar kau tidak mengambil jalan yang paling menyakitkan. Setiap keputusan yang kau buat memiliki konsekuensi. Pilih dengan hati-hati, dan jangan pernah meremehkan kekuatan pilihan-pilihan kecilmu. Karena di sanalah masa depanmu terbentuk."

Dimas membaca baris terakhir yang ditulis dengan tinta hitam pekat:

"Aku tahu kau akan membuat keputusan yang benar, Dimas. Karena aku pernah menjadi dirimu."

Dimas menggulung kertas itu dengan tangan gemetar. Pikirannya berputar-putar. Bagaimana mungkin ini terjadi? Bagaimana mungkin masa depan bisa mengirimkan peringatan melalui selembar surat sederhana?

Hujan semakin deras, menghantam atap kamar seakan ingin mendobrak masuk. Dimas menatap keluar jendela, melihat hujan yang turun deras seolah mencuci segala keraguannya. Masa depan mungkin tak terelakkan, namun keputusan-keputusan yang ia buat mulai sekarang akan menentukan bentuk akhirnya.

Tiba-tiba ponselnya berdering. Dari Rina! Dimas gamang menentukan keputusan yang akan ia pilih. Dia memejamkan mata sejenak, lalu membukanya sambil tersenyum.

Masa depan adalah sebuah kemungkinan, tapi masa kini adalah kekuatan yang nyata. Malam itu, Dimas memilih untuk membiarkan masa depan menjadi misteri yang indah---sebuah misteri yang ia kendalikan sendiri.

TAMAT

"Jangan melihat masa lalu dengan penyesalan, jangan pula melihat masa depan dengan ketakutan, tapi lihatlah sekitarmu dengan penuh kesadaran." - James Thurber

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun