Dimas membaca baris terakhir yang ditulis dengan tinta hitam pekat:
"Aku tahu kau akan membuat keputusan yang benar, Dimas. Karena aku pernah menjadi dirimu."
Dimas menggulung kertas itu dengan tangan gemetar. Pikirannya berputar-putar. Bagaimana mungkin ini terjadi? Bagaimana mungkin masa depan bisa mengirimkan peringatan melalui selembar surat sederhana?
Hujan semakin deras, menghantam atap kamar seakan ingin mendobrak masuk. Dimas menatap keluar jendela, melihat hujan yang turun deras seolah mencuci segala keraguannya. Masa depan mungkin tak terelakkan, namun keputusan-keputusan yang ia buat mulai sekarang akan menentukan bentuk akhirnya.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Dari Rina! Dimas gamang menentukan keputusan yang akan ia pilih. Dia memejamkan mata sejenak, lalu membukanya sambil tersenyum.
Masa depan adalah sebuah kemungkinan, tapi masa kini adalah kekuatan yang nyata. Malam itu, Dimas memilih untuk membiarkan masa depan menjadi misteri yang indah---sebuah misteri yang ia kendalikan sendiri.
TAMAT
"Jangan melihat masa lalu dengan penyesalan, jangan pula melihat masa depan dengan ketakutan, tapi lihatlah sekitarmu dengan penuh kesadaran." - James Thurber
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H