Mohon tunggu...
Ahmad R Madani
Ahmad R Madani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis lagu, buku, komik, dan skenario film. Pernah dapat nominasi AMI Awards 2015. 3 bukunya terbit di Gramedia. Penulis semua cerita di comicone.id. Sudah menulis 3 skenario film layar lebar. Tumbal: The Ritual (2018), Jin Khodam (2023), Kamu Harus Mati (coming soon).

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Nasionalis Itu Tidak Anti dengan Film Asing

22 Agustus 2024   08:25 Diperbarui: 22 Agustus 2024   08:31 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nasionalisme sering kali diidentikkan dengan kecintaan terhadap produk-produk lokal, termasuk film nasional. Namun, dalam era globalisasi saat ini, mempelajari film-film internasional juga merupakan bagian penting dari nasionalisme. Mengapa? Karena dengan memahami budaya dan perspektif dari berbagai belahan dunia, kita bisa memperkaya wawasan, menciptakan karya yang lebih inovatif, dan memperkuat identitas nasional.

Memahami budaya lain melalui film-film internasional membantu kita mengembangkan perspektif yang lebih luas tentang dunia. Dengan menonton film internasional, kita bisa belajar tentang sejarah, tradisi, dan nilai-nilai masyarakat lain yang berbeda dari kita. Misalnya, film Parasite (2019) dari Korea Selatan tidak hanya mendapat penghargaan internasional, tetapi juga membuka mata dunia terhadap masalah sosial dan budaya di negara tersebut.

Melalui Parasite, dunia dapat melihat sisi lain dari Korea Selatan, lebih tepatnya Seoul, yang mungkin tidak begitu sering terlihat dalam budaya pop atau media global. Tema kesenjangan sosial ekonomi yang universal menunjukkan bahwa cerita lokal dengan relevansi sosial yang kuat bisa memiliki daya tarik internasional. Para pembuat film di Indonesia dapat mengambil pelajaran ini dan mulai mengembangkan cerita lokal yang memiliki relevansi global, membuka peluang untuk dikenali di kancah internasional.

Parasite berhasil meraih 4 piala Oscar, termasuk kategori Film Terbaik. Bahkan inilah film berbahasa asing pertama yang menang Best Picture. Kemenangan ini menempatkan Korea Selatan sebagai pemain utama di industri film global. Dari Parasite, sineas kita bisa belajar tentang peggunaan simbolisme, penggabungan genre, dan pendekatan sinematik yang unik lewat tangan dingin Bong Joon-hoo.

Mungkinkah Bong bisa mencapai kualitas seperti sekarang ini tanpa memiliki wawasan skala internasional? Tahukah Anda siapa yang membuat film Snowpiercer (2013)? Itu adalah film berbahasa Inggris pertama Bong Joon-ho! Sebuah fiksi ilmiah dystopian yang diadaptasi dari novel grafis Prancis Le Transperceneige. Saat ini ia sedang menggarap Mickey7, adaptasi dari novel fiksi ilmiah dengan judul yang sama karya Edward Ashton. Film ini akan menjadi proyek berbahasa Inggris berikutnya.

Sekarang tolong sebutkan sineas kita yang berhasil go internasional yang tidak terpapar dengan film-film mancanegara? Tidak ada! Timo Tjahjanto dikenal dengan film-film aksi brutal dan penuh kekerasan. Pengaruh Quentin Tarantino dan Takashi Miike sangat terasa dalam film-filmnya. The Night Comes for Us (2018) adalah film Indonesia pertama yang diproduksi oleh Netflix, membuka pintu untuk distribusi film Indonesia ke pasar global.

Joko Anwar sering menggabungkan elemen-elemen dari berbagai genre film internasional seperti horor klasik Amerika dan Eropa, serta noir, dalam karya-karyanya. Dalam salah satu wawancara ia mengatakan ada beberapa film internasional yang mempengaruhi karya-karyanya, antara lain Don't Look Now (1973), The Conversation (1974), Chinatown (1974), Z (1969), Badlands (1974), Mean Streets (1973). Bahkan nama perusahaannya, Come and See Pictures, diambil dari salah satu judul film favoritnya yang digarap oleh Elem Klimov! Salah satu pesan terbaik Joko adalah, film Indonesia bisa mendunia asal ceritanya universal.

Mouly Surya terpengaruh dari berbagai genre film internasional seperti Western. Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2017) sering disebut sebagai 'Satay Western', sebuah genre unik yang menggabungkan elemen Western klasik dengan budaya Indonesia. Mouly adalah sutradara Indonesia pertama yang terlibat langsung dalam pembuatan film Hollywood, yaitu Trigger Warning (2024).

Mereka semua bisa memiliki prestasi yang membanggakan Indonesia bukan semata karena belajar dari film-film nasional, melainkan karena juga mempelajari film-film internasional. Jadi stop merasa paling nasionalis dengan anti terhadap film-film asing atau mancanegara. Karena bukti nasionalisme adalah justru dengan juga memiliki wawasan film yang mendunia. Jangan jadi ikan besar di kolam kecil. Jadilah ikan kecil di kolam yang besar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun