Hollywood jika kita mampu menghasilkan karya-karya berkualitas yang mencerminkan identitas budaya kita sendiri." (Joko Anwar)
"Film Indonesia memiliki potensi besar untuk bersaing denganIndustri perfilman adalah cermin dari sejarah, budaya, bahkan identitas suatu bangsa. Hollywood sebagai pusat industri film Amerika Serikat berhasil mendominasi panggung internasional. Menjadi kekuatan utama dalam arena perfilman global. Bagaimana dengan Indonesia?
Perfilman kita memiliki kekayaan warisan budaya dan kreativitas yang khas, yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Meskipun kita sama-sama berangkat di awal abad yang sama dengan Hollywood, yaitu abad ke-20, tapi saat ini Hollywood bak raksasa yang terlalu tangguh untuk dikalahkan. Ini hendaknya menjadi bahan perenungan kita bersama, terutama bagi para sineas dan insan perfilman.
Â
Era perfilman modern Hollywood dimulai sejak film bisu "The Great Train Robbery" (1903) dan "Birth of a Nation" (1915). Studio-studio besar seperti Paramount, Warner Bros., dan MGM menjadi kekuatan paling dominan dalam industri ini. Adapun perfilman Indonesia dimulai dengan film bisu pertamanya, "Loetoeng Kasaroeng" (1926).
Bayangkan! Kita start di awal abad yang sama. Kita terlambat hanya 23 tahun dari Hollywood. Tapi rasanya kayak ketinggalan 230 tahun! Fakta sejarah membuktikan, industri perfilman kita baru mulai bergeliat era 1940-an atau pasca kemerdekaan dengan munculnya studio Tan's Film dan Oriental Film.
Tan's Film didirikan oleh seorang produser film Tionghoa-Indonesia bernama Ang Hock Liem. Studionya aktif memproduksi film hingga 1960-an dengan melahirkan film-film populer. Adapun Oriental Film didirikan oleh Tjo Seng Han. Studionya menghasilkan sejumlah film yang sukses di pasaran.
Kedua studio ini menjadi pionir dalam industri perfilman Indonesia pada masanya dan memberikan kontribusi yang berarti dalam perkembangan perfilman nasional. Artis-artis seperti Rd. Mochtar, Ratna Asmara, Bing Slamet, dan banyak lainnya seringkali menjadi bintang dalam produksi mereka.
Sementara itu Hollywood berkembang pesat dengan munculnya sistem studio. Tahun 1930-an dan 1940-an menjadi era emas Hollywood, di mana film-film klasik seperti "Gone with the Wind" (1939) dan "Casablanca" (1942) lahir. Adapun Industri perfilman Indonesia mengalami masa perkembangan signifikan ditandai dengan munculnya Usmar Ismail dengan film-film klasiknya seperti "Darah dan Doa" (1950) dan "Tiga Dara" (1956). Usmar Ismail dikenal sebagai sutradara, produser, penulis, dan tokoh yang berperan dalam perkembangan perfilman nasional Indonesia.
Dibawah kepemimpinan Usmar Ismail berdirilah untuk pertama kalinya perusahaan film asli Indonesia, yaitu Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) tahun 1950. Lalu dia mendirikan perusahaannya sendiri yang ia beri nama PFN (Pusat Film Nasional) pada tahun 1969. Dua lembaga ini memiliki peran penting dalam sejarah perfilman Indonesia.
Â
Sepanjang sejarahnya Hollywood menghadapi berbagai tantangan. Mulai dari depresi ekonomi, perang dunia, hingga perubahan teknologi seperti munculnya televisi. Namun industri ini terus berkembang dan beradaptasi dengan inovasi-inovasi seperti teknologi warna, suara, dan efek khusus. Perfilman Indonesia juga menghadapi tantangan yang tidak sedikit, antara lain masalah ekonomi, politik, dan sosial. Industri ini pun tetap berkembang dengan munculnya genre-genre baru seperti film horor dan komedi, serta kemajuan dalam teknologi produksi dan distribusi.
Â
Hollywood bukan hanya pusat industri film, tetapi juga agen besar yang menyebarkan budaya Amerika ke seluruh dunia. Film-film Hollywood sering mencerminkan nilai-nilai dan identitas Amerika yang dominan. Perfilman Indonesia juga merupakan cermin dari keberagaman budaya dan identitas bangsa. Film-film Indonesia sering kali mengangkat tema-tema lokal, mitologi, dan tradisi budaya yang khas bagi masyarakat Indonesia.
Sejarah perfilman Indonesia dan Hollywood adalah dua perjalanan yang unik dan menarik dalam evolusi industri perfilman. Meskipun Hollywood telah menjadi kekuatan dominan dalam perfilman global, perfilman Indonesia tetap memiliki tempat tersendiri. Setidaknya kita memiliki potensi yang besar untuk menjadi kiblat perfilman Asia! Dengan terus menghargai warisan budaya dan inovasi kreatif, industri perfilman kita dapat terus berkembang dan menemukan panggungnya dalam perfilman global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H